Persaingan Produsen Obat Tidak Sehat, Obat Palsu Pun Beredar Luas

NERACA

Jakarta – Harga jual obat di Indonesia masih mahal dengan struktur harga yang tidak transparan. Banyaknya jenis obat yang beredar di pasaran, malah menimbulkan persaingan tidak sehat serta berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi yang efektif dan efisien.

“Faktanya, pengobatan yang rasional di pelayanan publik masih diragukan, apakah pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis yang tepat, untuk jangka waktu pengobatan yang sesuai, dan biaya yang terjangkau,” kata Tulus Abadi, Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat dihubungi Neraca, Selasa (3/4).

Menurut Tulus, saat ini sebagian besar masyarakat, bahkan yang memiliki profesi sebagai tenaga kesehatan pun masih banyak yang tidak percaya khasiat obat generik.

Tulus memaparkan, dari Penelitian WHO yang membandingkan harga obat nama dagang dan obat generik menunjukkan bahwa obat generik bukan yang termurah, meski secara umum obat generik lebih murah dari obat dengan nama dagang.

“Pelayanan Kefarmasian belum optimal, karena yang terjadi saat ini adalah pihak pemerintah lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur yang bersifat nyata, daripada pembangunan kesehatan masyarakat khususnya pengadaan obat-obatan publik,” tegas Tulus.

Masih carut marutnya peredaran obat-obatan dan mahalnya harga obat di Indonesia, menurut dia, akibat kurang maksimalnya stakeholders kesehatan dalam beradvokasi dengan pemerintah. “Setelah masyarakat menerima pelayanan kesehatan beserta obat, seharusnya mendapat informasi tentang penggunaan obat agar dapat digunakan dengan benar, tepat dan aman,” terang Tulus.

Sementara itu, pengurus Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi, Anthony Soenarjo menegaskan, seharusnya pemerintah mengatur produsen, agar memproduksi obat-obatan dengan label layak dikonsumsi.

“Ya pemerintah, pengusaha dan pengembang obat-obatan harus mengatur produksi dan distribusi hingga penjualan, agar obat-obatan layak dikonsumsi masyarakat luas. Misalnya ada label halal dikonsumsi. Jadi masyarakat bisa aware,” tegasnya kemarin.

Dia menegaskan, pengadaan obat terjangkau untuk masyarakat seharusnya tanggungjawab dari pemerintah. Salah satunya dengan mengintervensi harga obat menjadi murah. “Ini kan tugas pemerintah. Ya seharusnya bisa obat-obat yang harga mahal itu dimurahkan,” tandasnya.

Anton mengakui, penyebaran obat palsu begitu menjamur. Namun jika pemerintah tegas dalam menindak oknum yang terbukti menjadi dalang pengadaan obat palsu, maka keberadaan obat palsu bisa ditekan. “Kembali lagi, kalau mau obat murah tak layak itu ditekan. Andil terbesar ada pada pemerintah, kemudian pengusaha dan pengembang,” lanjutnya.

Produk Ilegal

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, produk obat-obatan yang beredar di Indonesia dapat bernilai ratusan triliun rupiah, termasuk produk ilegal dan palsu, serta produk dengan degradasi mutu atau kadaluarsa.

Untuk itu, sambungnya, diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang kuat dan memiliki networking nasional serta internasional. “Ini semata-mata dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan masyarakat, sekaligus memperkokoh perekonomian nasional,” katanya.

Maura memaparkan, sistem pengawasan obat di Indonesia dibuat dalam tiga lapis yang dimulai dari industri farmasi, pemerintah, hingga masyarakat. Sebagai produsen, industri farmasi memiliki tanggung jawab yang besar atas mutu, keamanan, dan khasiat obat yang diproduksinya. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai kualitas produk dan penggunaannya yang rasional.

“Tapi sayangnya, masyarakat masih suka membeli obat sendiri-sendiri. Masih banyak orang yang lebih percaya khasiat obat paten yang lebih mahal dibanding obat generik, padahal khasiatnya sama. Selain itu, beberapa orang juga tidak tahu cara membedakan obat generik dengan obat paten,” ungkapnya

Sedangkan dari sisi pemerintah, lanjut Maura, bertugas mengawasi peredaran obat yang di antaranya dilakukan dengan melakukan standardisasi sarana produksi, distribusi, mutu bahan, cara-cara produksi dan produk jadi. Pemerintah juga perlu menilai dan menguji mutu, keamanan, dan khasiat sebelum produk dinyatakan boleh beredar. “Nah, sistem pengawasan ini dilakukan dengan peningkatan kompetensi dan kredibilitas Badan POM sebagai competent authority dan kerja sama lintas sektor,” ujarnya.

Sedangkan, Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia, M Dani Pratomo mengatakan, PP No.51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, secara jelas menginstruksikan apotik untuk menjual obat-obatan generik. "Keberadaan apotik ke depan sebagai tempat pelayanan kesehatan, pendapatan diambil dari fee atas obat yang terjual, sehingga tidak terpengaruh dengan generik atau bukan generik," ujarnya.

Pasien, lanjut Dani, berhak untuk meminta obat generik kepada apotik serta hal ini dilindungi pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan. Dia menyarankan agar masyarakat jangan tergiur dengan harga yang jauh lebih murah bandingkan harga lazimnya untuk produk yang sama.

“Perhatikan juga keutuhan kemasan, apakah masih tersegel dengan baik atau tidak. Jangan terima kalau sudah cacat serta cermati kebersihan kemasan, langkah ini perlu mengingat tidak sedikit obat palsu yang bersumber dari obat-obatan kadaluarsa,” terangnya.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Dra. Lucky Oemar Said mengutarakan, dari hasil temuan BPOM, peredaran obat palsu sepanjang kurun waktu 4 tahun mengalami penurunan. “Tahun 2008 24 item, tahun 2009 22 item, tahun 2010 9 item, tahun 2011 10 item,” ujarnya.

Namun demikian, Lucky menilai, hal tersebut harus tetap diwaspadai. "Sudah ada satuan tugas pemberantasan obat dan makanan ilegal di lapangan," ujarnya.

Saat ini, peredaran obat palsu di Indonesia semakin meresahkan. Para pelaku dapat melenggang bebas di sejumlah toko dan kios obat, salah satunya di Pasar Pramuka, Pasar Grogol, dan Pasar Rawa Bening. Pasar obat palsu cukup besar karena harganya menarik hingga bisa lima hingga 60 kali lipat lebih murah. Faktor lainnya yakni sebagian besar obat yang dipalsukan adalah obat yang memang laku keras di pasaran.

Menurut Lucky, konsumen termasuk beberapa dokter turut memburu obat-obat tidak layak konsumsi. Jenis obat yang diburu umumnya obat resep, obat bermerk dan off-patent. “Jika dibiarkan, peredaran obat palsu bakal memakan korban. Penyakit yang diharapkan bisa sembuh setelah mengkonsumsi bisa bertambah parah, karena obat yang dikonsumsi tidak mengurangi gejala atau membasmi penyakit,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…