Perang Dagang, China Ajukan Kasus Bea Masuk AS ke WTO

NERACA

Jakarta – China mengajukan pengaduan terhadap Amerika Serikat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas bea masuk atau tarif AS, Kementerian Perdagangan China mengatakan pada Senin (2/9/2019). Amerika Serikat mulai mengenakan tarif 15 persen terhadap berbagai barang China pada Minggu (1/9/2019) dan China mulai mengenakan bea baru pada minyak mentah AS, peningkatan terbaru dalam perang dagang mereka.

China tidak merilis rincian kasus hukumnya tetapi mengatakan tarif AS mempengaruhi 300 miliar dolar AS ekspor China. Tindakan tarif terbaru melanggar konsensus yang dicapai oleh para pemimpin China dan Amerika Serikat dalam pertemuan di Osaka, Kementerian Perdagangan mengatakan dalam pernyataan itu. "China akan mempertahankan hak-hak hukumnya sesuai dengan aturan WTO,” katanya, disalin dari Antara.

Gugatan tersebut adalah yang ketiga yang diajukan Beijing untuk menantang tarif khusus Presiden AS Donald Trump di WTO, organisasi internasional yang membatasi tarif yang diizinkan untuk dibebankan oleh masing-masing negara.

Pejabat AS mengatakan bahwa mereka menghukum China karena pencurian kekayaan intelektual yang tidak tercakup oleh peraturan WTO, meskipun banyak pakar perdagangan mengatakan bahwa kenaikan tarif apa pun di atas batas maksimum yang diizinkan harus dibenarkan di WTO.

Banyak ahli juga mengecam keputusan China untuk memerangi api dengan api, dengan mengenakan tarif pada barang-barang AS yang diimpor ke China, juga tanpa persetujuan WTO.

Pada Jumat (30/8/2019) Amerika Serikat menerbitkan pembelaan tertulis yang pertama dari tiga kasus hukum, menyatakan bahwa China dan Amerika Serikat sepakat bahwa masalah tersebut tidak boleh diadili di WTO.

“China telah mengambil keputusan sepihak untuk mengadopsi langkah-langkah kebijakan industri yang agresif untuk mencuri atau dengan cara tidak adil memperoleh teknologi dari mitra dagangnya; Amerika Serikat telah mengadopsi langkah-langkah tarif untuk mencoba mendapatkan penghapusan kebijakan transfer teknologi yang tidak adil dan terdistorsi di China,” katanya.

China memilih untuk tidak merespons dengan mengatasi kekhawatiran Amerika Serikat tetapi dengan tarifnya sendiri, dalam upaya mempertahankan kebijakan-kebijakannya yang tidak adil tanpa batas waktu.

Pengajuan AS juga mengatakan tindakannya dikecualikan dari aturan WTO karena mereka "langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi moral publik" -- klausa yang digunakan di masa lalu untuk berdebat tentang pembatasan perdagangan atas perjudian, hak-hak hewan, dan penyiaran publik.

Di bawah aturan WTO, Washington memiliki 60 hari untuk mencoba menyelesaikan perselisihan terbaru. Kemudian China bisa meminta WTO untuk mengadili, sebuah proses yang akan memakan waktu beberapa tahun. Ini bisa berakhir dengan China mendapatkan persetujuan WTO untuk mengambil sanksi perdagangan, jika Amerika Serikat terbukti melanggar aturan.

Sementara itu, Indonesia for Global Justice (IGJ) menyoroti fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di kawasan Asia sebagai akibat dari perang dagang yang tidak kunjung usai antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

"Perlambatan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di Asia hari ini akibat perang dagang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi ikut melambat," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, seperti disalin dari laman Antara.

Rachmi Hertanti mengemukakan bahwa penurunan angka perdagangan global sedikit banyak juga telah menurunkan kapasitas produksi dunia, yang pada akhirnya juga berdampak terhadap kapasitas sektor swasta.

Direktur Eksekutif IGJ berpendapat bahwa meningkatnya pertumbuhan infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air, bila tidak ditopang oleh penguatan sektor produksi maka akan menjadi perangkap bagi Indonesia.

Selain itu, ujar dia, berbagai pihak juga sudah memberikan peringatan soal rasio utang swasta yang dinilai sangat berisiko. "Dampaknya terhadap Indonesia adalah potensi terhadap memburuknya neraca transaksi pembayaran," katanya.

Ia menyatakan, sukar untuk menaikkan pendapatan sektor primer jika situasi krisis di Asia terus membayangi. Sedangkan di sisi yang lain, pendapatan dari sektor perdagangan barang dan jasa terus negatif.

Sebelumnya Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menilai bahwa Pemerintah perlu benar-benar menyiapkan strategi besar dalam mengantisipasi dampak perang dagang antara dua raksasa global, Amerika Serikat dan China, yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…