Vale: Ekspor Bijih Nikel Mentah Berdampak Negatif

NERACA

Jakarta – Presiden Direktur PT Vale Indonesia Nico Kanter mengatakan bahwa dibukanya keran ekspor bijih mentah nikel (terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia.

"Setelah terbitnya peraturan ini (PP No 1 tahun 2017), harga nikel sudah langsung menurun, di mana penurunan harga nikel ini diperkirakan akan berkepanjangan, dan akan berdampak langsung pada pendapatan perusahaan smelter di Indonesia dan juga pada pendapatan pemerintah dari sektor nikel," kata Nico Kanter, disalin dari Antara di Jakarta.

Ia juga mengatakan, jika kewajiban menyerap bijih dengan kadar rendah, akan meningkatkan unit biaya produksi smelter, dan hal tersebut akan mengakibatkan operasional smelter menjadi kurang kompetitif.

Di samping itu, kendala lain yang mungkin terjadi menurutnya adalah dari sisi pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) yang dapat menjadi celah bahwa, pada prakteknya ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan pada akhirnya berdampak pada penurunan harga nikel yang signifikan.

Nico menjelaskan, investasi smelter membutuhkan modal yang besar dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Tanpa konsistensi kebijakan, dukungan fasilitas dan juga kondisi harga mineral yang baik, akan sulit sekali untuk berinvestasi.

"Kami akan senantiasa berdiskusi dengan pemerintah dalam upaya agar interpretasi dan implementasi peraturan ini akan sesuai dengan maksud dan tujuannya untuk memberikan manfaat yang besar untuk semua pemangku kepentingan," katanya.

Ia juga menyampaikan informasi, bahwa sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel, beberapa smelter nikel telah berproduksi dan, dalam jumlah yang lebih banyak lagi, smelter-smelter baru tengah dibangun di Indonesia. Mayoritas smelter-smelter ini akan menghasilkan produk "nickel pig iron" (NPI) dan berkompetisi dengan produsen NPI maupun ferronikel di luar Indonesia, terutama di China.

Dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia telah meningkat dari peringkat 4 di dunia pada tahun 2015 menjadi peringkat 3 pada tahun 2016 dan, dengan laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai tingkat pertama di dunia pada tahun 2017.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menjelaskan beberapa poin penting perubahan Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2017.

Diantaranya adalah penghapusan ketentuan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang telah melakukan pemurnian dapat menjual hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu.

Tujuan utama dari PP tersebut adalah guna melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pemerintah bertekad untuk menghentikan ekspor nikel mentah serta mulai mengolah biji nikel menjadi bahan baku baja-baja khusus yang selama ini masih diimpor dari Jepang dan Korea.

"Kita berharap ke depan ada yang mengolah lebih lanjut karena nikel merupakan bagian dari bahan baku untuk menghasilkan baja khusus yang kita ingin dorong untuk tumbuh di Indonesia," kata Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhori, di Jakarta.

Ia mengatakan, Indonesia memiliki cadangan nikel mencapai 3,2 miliar ton atau lima persen dari cadangan nikel seluruh dunia. Selama ini nikel diolah oleh dua perusahaan di Indonesia yaitu PT Aneka Tambang yang mengolah nikel menjadi fero nikel dan PT Inco yang menghasilkan olahan awal biji nikel menjadi bahan baku untuk pengolahan nikel selanjutnya. "Produk-produk olahan awal nikel itu kemudian 70 persennya diekspor," katanya. 

Padahal selama ini Indonesia masih mengimpor seperti dari Jepang dan Korea baja-baja khusus yang pengolahannya menggunakan nikel misalnya bahan-bahan untuk kepentingan industri otomotif.  

Secara keseluruhan impor nikel terklasifikasi dalam data impor baja lainnya (termasuk nikel dan produk lain) yang tiap tahun rata-rata mencapai 500 juta dolar AS. "Kita upayakan untuk tidak akan lagi mengekspor nikel dalam bentuk yang sangat mentah seperti selama ini," katanya. Menurut dia, selama ini Indonesia mengalami kendala teknologi dalam pengembangan nikel dan masih belum adanya minat untuk mengolah nikel menjadi produk olahan siap pakai.

BERITA TERKAIT

Distribusi dan Stabilitas Harga Ikan Selama Ramadhan Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan akan terus mengawal ketersediaan serta kestabilan harga ikan. KKP menyebut bahwa…

Indonesia dan Sri Lanka Perkuat Hubungan Dagang Bilateral

NERACA Jakarta – Indonesia dan Sri Lanka meluncurkan perundingan Indonesia–Sri Lanka Preferential Trade Agreement (ISL–PTA). Penandatanganan dilaksanakan secara simultan melalui…

2023, Kontribusi Parekraf Terhadap PDB Mencapai 3,9 Persen

NERACA Jakarta – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno memaparkan realisasi program…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Distribusi dan Stabilitas Harga Ikan Selama Ramadhan Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan akan terus mengawal ketersediaan serta kestabilan harga ikan. KKP menyebut bahwa…

Indonesia dan Sri Lanka Perkuat Hubungan Dagang Bilateral

NERACA Jakarta – Indonesia dan Sri Lanka meluncurkan perundingan Indonesia–Sri Lanka Preferential Trade Agreement (ISL–PTA). Penandatanganan dilaksanakan secara simultan melalui…

2023, Kontribusi Parekraf Terhadap PDB Mencapai 3,9 Persen

NERACA Jakarta – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno memaparkan realisasi program…