Perang Tarif Berkecamuk, Waspadai Perlambatan Perdagangan

NERACA

Jakarta – Indonesia for Global Justice (IGJ) menyoroti fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di kawasan Asia sebagai akibat dari perang dagang yang tidak kunjung usai antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

"Perlambatan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di Asia hari ini akibat perang dagang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi ikut melambat," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, seperti disalin dari laman Antara.

Rachmi Hertanti mengemukakan bahwa penurunan angka perdagangan global sedikit banyak juga telah menurunkan kapasitas produksi dunia, yang pada akhirnya juga berdampak terhadap kapasitas sektor swasta.

Direktur Eksekutif IGJ berpendapat bahwa meningkatnya pertumbuhan infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air, bila tidak ditopang oleh penguatan sektor produksi maka akan menjadi perangkap bagi Indonesia.

Selain itu, ujar dia, berbagai pihak juga sudah memberikan peringatan soal rasio utang swasta yang dinilai sangat berisiko. "Dampaknya terhadap Indonesia adalah potensi terhadap memburuknya neraca transaksi pembayaran. Pendapatan primer dalam neraca pembayaran masih sangat rendah," katanya.

Ia menyatakan, sukar untuk menaikkan pendapatan sektor primer jika situasi krisis di Asia terus membayangi. Sedangkan di sisi yang lain, pendapatan dari sektor perdagangan barang dan jasa terus negatif.

Sebelumnya Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menilai bahwa Pemerintah perlu benar-benar menyiapkan strategi besar dalam mengantisipasi dampak perang dagang antara dua raksasa global, Amerika Serikat dan China, yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional.

Ia memperkirakan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik. Said Abdullah menilai selain imbas normalisasi kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS), pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang.

"Jadi, kalau dua negara raksasa ekonomi ini berperang, maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasar global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor Indonesia pun berpeluang terganggu karena penurunan permintaan," katanya. Untuk itu, politisi PDIP itu meminta pemerintah menyiapkan strategi besar karena China dan AS merupakan negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan fokus mendorong ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk memperbaiki neraca perdagangan pada semester I 2019 yang saat ini telah mencapai angka 1,90 miliar dolar AS.

"Peningkatan ekspor di tengah situasi yang tidak pasti ini, kami harus melakukannya," kata Enggartiasto saat ditemui usai rapat pembahasan RAPBN 2020 di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8).

Menurut dia, langkah strategis itu diambil dengan memanfaatkan situasi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat.

Laporan terbaru Bank Dunia memproyeksikan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang Asia Timur dan Pasifik, yang masih dipengaruhi tantangan global. Perlambatan itu membuat pertumbuhan di kawasan diproyeksikan sebesar enam persen pada 2019 dan 2020 atau turun dari pencapaian 6,3 persen pada 2018.

Laporan World Bank East Asia and Pacific Economic Update edisi April 2019 yang dipantau di Jakarta, Rabu, menyatakan salah satu pengaruh pelemahan ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi China.

Meski demikian, kinerja perekonomian di kawasan ini masih tetap kuat seperti ketika mampu menahan gejolak pasar keuangan pada 2018. Kemampuan mengatasi gejolak itu diakibatkan oleh kerangka kerja kebijakan yang efektif dan fundamental yang kuat, termasuk diversifikasi ekonomi, nilai tukar yang fleksibel, dan penyangga kebijakan yang solid. Selain itu, permintaan domestik tetap kuat di sebagian besar kawasan ini, yang mampu mengimbangi dampak melambatnya kinerja ekspor.

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa mengatakan pertumbuhan di kawasan telah membantu upaya penurunan tingkat kemiskinan yang saat ini salah satu terendah sepanjang sejarah.

Bank Dunia memproyeksikan tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah ini akan turun di bawah tiga persen hingga 2021. "Namun, pada saat yang sama, setengah miliar penduduk di kawasan tetap tidak aman secara ekonomi, dan berisiko kembali jatuh dalam kemiskinan, yang menjadi pengingat besarnya tantangan para pembuat kebijakan," katanya.

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…