MODUS HOSTILE TAKEOVER BANK - DBS Kuasai Danamon Berpotensi Langgar Aturan BI

NERACA

Jakarta - Penjualan saham Bank Danamon oleh Temasek Holdings ke DBS Group (Singapura) berpotensi melanggar peraturan Bank Indonesia (BI) terkait Single Presence Policy (SPP). Jika DBS menjadi pemilik mayoritas Danamon, mereka akan terkena aturan BI mengenai SPP. Sebab, DBS memiliki 99% saham PT Bank DBS Indonesia.

“Jika Temasek Holdings tetap nekat menjual sahamnya di Bank Danamon ke DBS, maka, Komisi XI DPR RI akan memanggil Bank Indonesia (BI) sebagai regulator untuk menjelaskan hal itu,” tegas anggota Komisi XI DPR RI, Maruarar Sirait di Jakarta, Senin (2/4).

Tampaknya DBS Group menggunakan modus hostile take over, yaitu langkah tindakan akuisisi yang dilakukan secara "paksa" yang umumnya dilakukan dengan cara membuka penawaran atas saham perusahaan yang ingin dikuasai dipasar modal dengan harga di atas harga pasar. Ini terlihat dari penjualan saham Danamon saat akuisisi DBS adalah Rp 7.000, lebih tinggi dari 56,3% dari harga rata-rata sebulan terakhir (volume weighted average price) Rp 4.480 per lembar.

Menurut Maruarar, penjualan saham bank itu sepatutnya harus sepengetahuan BI. Oleh karena itu, DPR akan meminta penjelasan BI soal itu,” ujar Maruarar.

Sementara itu, pengamat ekonomi, Drajad Wibowo menilai, motif dari aksi DBS mengakuisisi Danamon hingga 51% bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah untuk menguasai perbankan nasional. Maklum saja, saat ini Danamon terus melakukan aksi menyentuh lapisan masyarakat bawah (dengan BPR).

Oleh sebab itu, tegas Drajad, BI harus pro-aktif memastikan apa motif akuisisi DBS terhadap Danamon. “BI harus betul-betul memastikan apa untung ruginya menerima pengajuan akuisisi itu. Kalau menguntungkan bagi negara ini ya tentu bukan masalah memberi izin akuisisi Danamon. Untuk melakukannya, mereka harus mendapatkan izin BI, tinggal bagaimana di BI nanti, kita lihat saja,” tandas dia.

Dalam hal ini, imbuh Drajad, BI harus berani menolak jika akuisisi ini ternyata lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Tetapi jika alasan mereka kuat dan tidak akan merugikan, juga tidak ada alasan memberi izin dalam akuisisi ini. “BI harus berani menolak kalau tidak ada manfaatnya bagi negara ini, jangan hanya karena DBS bank besar lalu membuat mereka takut,” jelasnya.

Drajad juga menyinggung tentang UU Perbankan yang berlaku saat ini. Menurutnya UU Perbankan yang ada sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Maka dari itu, UU Perbankan ini perlu direvisi.

Senada dengan Drajad, ekonom dari Ec-Think, Iman Sugema meminta Pemerintah Indonesia melakukan intervensi terhadap rencana aksi Temasek Holdings dan DBS tersebut.

Intervensi Pemerintah

“Rencana itu kan hanya ditawarkan kepada pihak-pihak terafiliasi saja, sehingga menutup kesempatan perbankan nasional. Jadi, Pemerintah sebaiknya harus mengintervensi,” tandas Iman Sugema, saat dihubungi di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, jika hal itu berlanjut, selain melecehkan para pemangku kepentingan di Indonesia, juga penguasaan asing di perbankan nasional semakin memperbesar peluang besar terjadinya kasus pencucian uang (money laundering).

“Kepemilikan asing sampai 100% di bank di Indonesia bisa membuka pintu secara lebar bagi terjadinya kasus money laundering,” ujarnya.

Jadi, tukas Dia, jika bank itu sepenuhnya milik asing, uang para penjahat money laundering-nya itu langsung ditransfer ke negara asal dari si pemilik bank tersebut. “Sementara itu, regulator tidak punya kewenangan untuk menindak itu. Ini bisa jadi masalah G to G (negara ke negara). Sekarang, apakah kita punya hubungan bilateral dengan Singapura,” tanya dia.

Iman mengutarakan, jika Pemerintah RI dan DPR RI punya komitmen besar untuk memberantas money laundering, wacana mengenai pembentukan undang-undang pembatasani kepemilikan saham asing dapat segera direalisasikan. “BI dan DPR harus memiliki keberanian dan niat baik untuk mulai merancang seperti apa format kepemilikan saham asing ke depan. Diharapkan, bank lokal bisa diutamakan kepemilikannya,” tandasnya.

Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, mengaku khawatir penjualan saham tersebut hanya demi kepentingan bermain jangka pendek saja, yaitu untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin. “Jangan asing memiliki bank untuk didagangkan lagi atau main jangka pendek saja," ujar Difi.

Apalagi, imbuh Difi, hingga kini belum ada pemberitahuan resmi atas penjualan saham Temasek Holdings ke DBS Group. Namun Difi mengakui, BI belum bisa memastikan motif dibalik niat DBS Group mengakuisisi Danamon.

Selanjutnya, ungkap Difi, ada dua kemungkinan perubahan saham yang terjadi dari rencana akuisisi ini. Pertama yakni kemungkinan perubahan saham pengendali. “Itu ada dua kemungkinan yang berubah dari komposisi saham. Bisa jadi perubahan komposisi pemegang saham atau komposisi perubahan saham pengendali,” paparnya.

Difi menjelaskan, nantinya jika akuisisi ini mengubah status komposisi pemegang saham. BI akan melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Namun jika yang ditempuh akan mempengaruhi perubahan pada saham pengendali, jelas DBS Group harus melakukan public disclosure (pengungkapan publik). “Saya belum ada kabar mereka mau akuisisi Danamon. Jadi kami belum bisa memutuskan apa nanti kita uji fit and proper atau mereka harus lakukan public disclosure. Kalau saham pengendali yang berubah jelas setelah public disclosure ada limit satu bulan ke depan untuk Danamon RUPS. Jadi kalau ada nasabah yang klaim bisa dilaporkan dalam RUPS,” ujarnya.

Dia menegaskan, DBS Group belum tentu bisa menjadi pemilik dominasi saham Danamon jika belum ada persetujuan dari BI selaku bank sentral sekaligus regulator perbankan di Indonesia.

Difi menilai, memang akan berdampak pada nasabah. Namun Difi belum bisa memastikan lebih jauh pengaruh dari akuisisi ini ke depannya. “Kami sendiri juga akan lakukan tinjauan dulu sebelum memutuskannya nanti. Kami nilai dulu, salah satunya dengan fit and proper itu. Dampaknya itu juga tergantung pada niat DBS Group. Sejauh ini kami belum bisa melihat apa-apa yang akan terjadi efek dari akuisisi itu,” lanjutnya.

Kabar tentang rencana Temasek Holdings akan melepas sahamnya di Bank Danamon ke DBS sudah beredar sejak akhir Januari 2011. Namun realisasinya tak kunjung tiba, lantaran internal BUMN Singapura tak satu suara. Sebagian pihak ingin menggabungkannya agar makin efisien karena sama-sama beroperasi di Indonesia dan milik Temasek. Sebagian tak menginginkan konsolidasi karena Danamon masih menguntungkan.

Sebelum muncul nama DBS, pelepasan saham Danamon juga dikaitkan dengan tawaran Bank of China, Standard Chartered dan beberapa institusi keuangan lainnya, seperti Jardine Matheson. Namun, manajemen DBS berkali-kali membantahnya. Mereka mengatakan, skenario yang menyebutkan DBS akan mengakuisisi atau menggabungkan diri dengan bank lain hanya spekulatif.

Tapi, DBS dan Temasek memang punya hubungan dekat. Lihat saja faktanya, Peter Seah, Chairman DBS adalah dewan penasihat Temasek. Sementara anggota dewan DBS Kwa Chong Seng adalah Deputi Chairman Temasek.

Bank Danamon adalah salah satu bank umum nasional ke enam berdasarkan aset senilai Rp 113,12 triliun atau tumbuh 12,38%. Saham Temasek Holdings akan dibeli DBS Group dengan tawaran senilai Rp 45,2 triliun. Langkah ini menjadi pembelian terbesar DBS dalam satu dekade terakhir.

Sebelumnya, Bank Danamon pernah menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) mengenai minat investor untuk membeli saham milik ‘Asia Financial’ (Indonesia) Pte Ltd di bank tersebut. Asia Financial yang dimiliki Temasek Holdings Ltd mempunyai 67,42% saham Danamon.

Danamon menjadi incaran investor asing, karena pertumbuhan kredit UMKM yang terus melonjak tinggi.

Bank yang dipimpin Henry Ho ini per Januari 2011 masih tercatat dimiliki oleh Asia Financial (Indonesia) Pte Ltd (AFI) sebesar 67,42% dan sisanya dikuasai publik. Sementara 100% saham Asia Financial dikuasai Temasek secara tidak langsung melalui anak usahanya, antara lain `Fullerton Financial Holdings` Pte Ltd.

Bank terbesar asal Singapura, DBS, sebelumnya dikabarkan mengajukan penawaran terhadap 68% saham Bank Danamon yang dikuasai Asia Financial, unit bisnis Temasek, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura. Nilai saham disebut-sebut mencapai US$ 3,2 juta.

Bank Danamon dikuasai Asia Financial sejak 2003, setelah membeli dari BPPN senilai US$ 321 juta atau setara Rp 3,08 triliun.

DBS merupakan salah satu grup jasa keuangan terbesar di Asia dengan operasi di 16 pasar dan terdaftar di `Singapura Exchange` (SGX). DBS didirikan pada 1968 sebagai bank pembangunan di Singapura.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…