Jangan Sampai Ada Tax Amnesty Jilid II

 

 

NERACA

 

Jakarta - Ekonom Senior Rizal Ramli menentang wacana pemerintah untuk mengadakan tax amnesty kedua. Rizal mengatakan, amnesti pajak yang sudah dilakukan semestinya menambah basis pajak. Namun, dalam realisasinya, rasio pajak terhadap PDB nasional justru makin merosot. Hal itu mencerminkan para wajib pajak tidak semakin patuh.

 

Rizal memaparkan, rasio pajak terus mengalami penurunan sejak tahun 2010 hingga 2018. Digelarnya program amnesti pajak kedua pada 2016 juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. "Pendapatan sektor pajak semakin hari semakin anjlok," kata Rizal kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/8). Pada 2015, rasio pajak Indonesia mencapai 9,20 persen terhadap PDB. Memasuki 2016 tahun dimana tax amnesty digelar, rasio pajak justru turun 8,91 persen. Pada 2017, rasio pajak kembali merosot ke level 8,47 persen dan sedikit membaik tahun 2018 menjadi 8,85 persen.

 

Mantan Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahmman Wahid itu menuturkan, tidak adanya perbaikan pada rasio pajak menunjukkan bahwa program pengampunan pajak yang telah dilakukan sebelumnya tidak membuat orang patuh. Disinggung soal klaim pengusaha yang menyebut program amnesti pajak yang belum diketahui orang sehingga perlu diulangi, Rizal hanya bergeming. "Seharusnya, kalau ada tax amnesty berarti tax base dan tax ratio makin besar. Jumlah pembayar pajak makin bertambah. Tapi ini merosot, kok mau diulangi?" kata dia.

 

Menurut dia, jika pemerintah kembali melakukan program amnesti pajak, hanya para wajib pajak skala besar yang diuntungkan. Padahal, selama ini mereka secara sengaja menjadi pengemplang pajak dan sengaja tidak mau mengikuti program amnesti pajak pada 2016. "Tax amnesty gagal, kita hanya mendapat pendapatan Rp 100 triliun. Konsekuensinya kita tetap harus pinjam uang lagi untuk membiayai kebutuhan," kata Rizal.

 

Ke depan pemerintah sudah waktunya untuk menegakkan hukuman atas mereka yang mengemplang pajak. Pengampunan pajak tidak layak untuk diterapkan kembali karena terbukti gagal membantu pemerintah memperluas basis pajak dan meningkatkan pendapatan. Lebih lanjut, ia menuturkan, terdapat banyak cara lain untuk bisa menggenjot pendapatan, salah satunya melalui revaluasi aset perusahaan BUMN. Cara itu, kata dia, pernah diterapkan Rizal saat dirinya masih berada di pemerintahan Joko Widodo.

 

Hasilnya, nilai aset BUMN Rp 800 triliun dari 11 BUMN yang melalukan revaluasi aset. Peningkatan aset itu otomatis bakal meningkatkan pendapatan bagi negara. "Jika kita lakukan revaluasi aset untuk semua BUMN, maka nilai aset akan bertambah Rp 3.000 triliun. Tanpa heboh-heboh seperti tax amnesty," ujar dia.

 

 

BERITA TERKAIT

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…