Menteri LHK: Presiden Jokowi Menyayangi Masyarakat Hukum Adat - Perayaan 20 Tahun AMAN

Menteri LHK: Presiden Jokowi Menyayangi Masyarakat Hukum Adat

Perayaan 20 Tahun AMAN

NERACA

Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan , seluruh masyarakat adat tidak boleh ada keraguan kepada pemerintah dan khususnya kepada Presiden Jokowi, yang betul-betul menyayangi masyarakat hukum adat di Indonesia ini. Dasar hukum dan pijakan konstitusional yang kuat sudah ada dan juga telah adanya pengakuan secara resmi oleh negara pada 30 Desember 2016 setelah Indonesia Merdeka lebih dari 70 tahun, dan telah dirintis operasionalisasinya.

“Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana Negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni,” ujar Siti Nurbaya saat mewakili Presiden dalam Perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (10/8). Presiden sendiri tengah berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan.

Siti Nurbaya juga bercerita “Pada kesempatan-kesempatan saya melaporkan kepada Bapak Presiden tentang hal berkenaan dengan masyarakat hukum adat, Bapak Presiden selalu bilang, mereka itu, masyarakat hukum adat adalah kawan-kawan saya, begitu kata Bapak Presiden, Jadi saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat kita.”

Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan bahwa tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat – yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga disebut sebagai ‘Masyarakat Hukum Adat’ atau ‘Masyarakat Tradisional’. Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi bersifat global dengan disahkannya The U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples pada 13 September 2007 dalam Sidang Umum PBB.

Dikatakan Siti, adalah kenyataan bahwa demikian banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun, kemudian dibangun negara bangsa. Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya. Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan.

Sedangkan negara bangsa adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya. Kata-kata kunci untuk memahami negara bangsa adalah kedaulatan dan kekuasaan. Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama.

Seyogyanya, posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan. Dalam konteks kesejarahan Indonesia, dengan perancang Undang-Undang Dasar 1945 — Prof Mr Dr R Soepomo – adalah seorang pakar hukum adat, yang benar-benar mengetahui posisi masyarakat hukum adat di Indonesia, maka terlihat tegas mencantumkan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dalam rancangan konstitusi.

Original Intent

Lebih jauh dikatakan Menteri Siti, bisa dilihat original intent seperti dalam Penjelasan Pasal 18  UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara. Sikap para pendiri negara tersebut merupakan original intent yang harus dirujuk dalam melakukan tafsiran historis (historische interpretatie) terhadap norma hukum positif yang terkait dengan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.

“Harus diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindak-lanjuti original intent para Pendiri Negara kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional. Hal ini disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat. Paling tidak hingga tahun 2008 sebagaimana disebutkan oleh Prof Saafrudin Bahar. Dan kita beruntung karena sejak lebih kurang dua tahun lalu sudah ada Pusat Studi Hukum Adat yang sudah di bangun di UGM Yogyakarta,” papar Siti Nurbaya.

Sementara di sisi lain, masyarakat hukum adat itu sendiri tumbuh dan berkembang dan mungkin mengalami evolusi dalam perkembangan ciri-cirinya. Perjalanan dan dinamika pengakuan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat hingga sekitar tahun 1960, tidak banyak dipersoalkan, apalagi digugat. Namun setelah itu, perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini dinilai menurun dengan meningkatnya kepentingan pihak-pihak terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa.

Lahirnya beberapa UU dan peraturan perundangan kemudian dirasakan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada. Dan kemudian menjadi gambaran yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia menurut UU 39 Tahun 1999.

Satu kemajuan dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 dan semakin berfungsi baik sejak Era Reformasi sangat aktif organisasi mendorong hak-hak masyarakat hukum adat. Demikian pula diikuti hadirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), melalui Kongres pada tahun 1999 di Jakarta.

Komnas HAM sejak tahun 2001 sangat gigih memperjuangkan masyarakat adat, dan pada tahun 2005 dengan seragkaian seminar dan diskusi dan pada 9 Agustus 2006  di TMII Hari Masyarakat Adat Internasional dipimpin oleh Komnas HAM (Prof. Saafurdin Bahar) dan diberikan sambutan oleh Presiden. Lebih kongkrit lagi di tahun 2015 hingga sekarang dirintis oleh Komnas HAM (antara lain Sandra Moniaga), dan terus melakukan hal-hal yang lebih kongrit bersama-sama dengan AMAN, HUMA, WALHI, BRWA dll dengan hasil-hasilnya hingga sekarang untuk penguatan hak-hak masyarakat hukum adat.

Selanjutnya Menteri Siti Nurbaya menjelaskan berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat, sudah ada RUU inisiatif DPR dan sudah ada penugasan Presiden kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Menteri Hukum dan Perundang-undangan untuk pembahasan bersama DPR. Dalam pelaksanaanya hingga sekarang belum dapat berlangsung pembahasan di  DPR 2014-2019 ini.

Menurut Siti Nurbaya masih dibutuhan artikulasi mengingat bahwa subyek Masyarakat Hukum Adat ini merupakan subyek yang cukup berat dan membutuhkan pengetahuan arkeologis, dan hukum adat serta ekologi manusia, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan itu. Juga diperlukan pengetahuan tentang perkembangan masyarakat hukum adat kita di seluruh wilayah Indonesia yang begitu luas. Demikian pula perlu koherensi UU sektoral yang dalam operasionalnya berkaitan dengan masyarakat hukum adat.“Ini bukan hal yang mudah,” kata dia.

“Perkembangan aktualisasi masyarakat hukum adat pada konteks Kehutanan relatif mengalami kemajuan walau belum memenuhi harapan yang besar. Kami mengedepankan artikulasi dalam rangka mengakomodasikan Masyakarat Hutan Adat melalui wilayah adat, dalam hal ini Hutan Adat. KLHK dan AMAN, HUMA, BRWA, JKPP, WALHI terus berinteraksi dengan baik sejak 2015. Artikulasi terus diupayakan oleh KLHK untuk bisa mewujudkan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat terkait dengan penetapan hutan adatnya sesuai harapan masyarakat,“ lanjut dia lagi.

Sediakan Hutan Adat

Pada 2016 dan 2017 Hutan Adat telah ditetapkan dan dicadangkan seluas 34.569 hektar di Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bali dan Sumatera Utara. Secara keseluruhan pada April 2019 telah ditetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I seluas ± 472.981 Ha. Dan pada Agustus ditetapkan kembali tambahan hutan adat seluas 101.138, sehingga total Hutan Adat  dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase II mencakup areal seluas ± 574.119 hektar.

Menteri LHK selanjutnya menegaskan lagi pada sektor sumberdaya alam, khususnya sektor lingkungan hidup dan kehutanan, maka aktualisasi masyarakat hukum adat merupakan bench mark penting pembangunan nasional, antara lain berkaitan dengan hal-hal : 1) Makna perlindungan kepada segenap bangsa dan tumpah darah sebagaimana maksud salah stau tujuan nasional apda Pembukaan UUD 1945; 2) Kesetaraan pelayanan publik sebagai warga negara; 3) Makna keadilan dalam penegakaan hukum; 4) Adaptasi dalam penanganan pengendalian perubahan iklim: dan 5) Aktualisasi perlindungan ekosistem dengan rule base kearifan lokal dan partisipasi masyarakat.

Pada kesempatan itu pula Menteri Siti menerima dokumen peta usulan wilayah masyarakat hukum adat seluas 10,4 juta hektar dari AMAN, dan BRWA dalam satu berita acara untuk disampaikan kepada Presiden dan untuk masuk dalam program dan pemetaan one map policy.

Menurut Rukka, sekjen AMAN,“Ini sangat penting, karena kami ingin agar masyarakat hukum adat tidak boleh ketinggalan atau ditinggalkan dalam agenda-agenda pembangunan nasional “.

Menteri Siti berjanji akan melaporkan kepada Presiden Jokowi usulan wilayah adat ini dan usulan masuk dalam one map policy.“Selamat 20 tahun AMAN dan selamat Hari Masyakat Adat Internasional,” tutur Siti Nurbaya menutup sambutannya di hadapan para tokoh pimpinan masyarakat adat se-Indonesia, juga masyarakat adat dari Africa, Amerika Latin dan Amerika Utara, juga dari Rusia. END. 

Sementara Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi tentang refleksi perjalanan AMAN sejak Kongres dan berdirinya organisasi AMAN pada Maret 1999. Perjalanan perjuangan sangat panjang sejak era orde baru, hingga era reformasi dan era menuju Indonesia Maju saat ini. Sekjen Rukka juga menyatakan permohonan maafnya kepada seluruh unsur Masyakarat Hukum Adat yang hadir karena hingga sekarang dalam kepengurusannya belum dapat membuahkan hasil disahkannya UU tentang Masyarakat Hukum Adat. Rukka juga menjelaskan bagaimana sistem ekonomi pada skala masing-masing Masyarakat Hukum Adat adalah sistem yang tangguh karena sustainability nya, disamping dengan gross margin yang cukup besar dan dapat mensejahterakan Masyarakat Hukum Adat. Mohar/Iwan

 

 

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…