Birokasi Tak Ditata, Korupsi Merajalela

Oleh: Sarwani

Bupati Kudus Muhammad Tamzil menjadi kepala daerah yang ke-107 yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kasus korupsi. Seperti tidak ada kata setop untuk urusan korupsi. Setiap tahun ada saja yang ditangkap oleh KPK. Macam-macam korupsi yang dilakukan. Kali ini kasusnya adalah jual beli jabatan.

Dalam posisinya sebagai orang nomor satu di daerah, seorang bupati atau walikota bak raja yang  bisa menentukan segalanya, mengangkat atau memberhentikan pejabat di lingkungan kekuasaannya. Wewenang ini ‘dimainkan’ untuk orang-orang yang juga berambisi menduduki jabatan tertentu. Hukum permintaan dan penawaran pun berlaku dan akhirnya terjadi transaksi jual beli jabatan. Tamzil bisa jadi tidak sendiri, hanya dia bernasib naas ketahuan KPK.

Kepala daerah baik bupati, walikota, atau gubernur memiliki wewenang yang luas sejak digulirkannya program desentralisasi yang sangat ambisius dengan diterbitkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Desentralisasi pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998.

Lahirnya UU tersebut membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah karena diberikan berbagai macam otoritas yang sebelumnya hanya dimiliki pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun diberikan kewenangan untuk menetapkan struktur organisasi pemerintah daerah.

Sekian lama dibawah kekuasaan Orde Baru dan dalam sistem yang tersentralisasi, ketika wewenang itu dibuka dan diberikan kepada pemerintah daerah, mereka tidak memiliki kapasitas untuk melakukan analisis organisasi dan jabatan, mendesain struktur dan tipe organisasi yang tepat. Tidak ada  arahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah pemerintah daerah dalam menjalankan tugas yang lumayan kompleks.

Di tengah keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam merancang organisasi, mereka juga menghadapi tantangan menerima 2,4 juta pegawai negeri yang berasal dari kementerian yang diintegrasikan ke dalam struktur organisasi daerah.

Akibatnya, dalam beberapa kasus terdapat kelebihan pegawai dalam organisasi pemerintah daerah. Persaingan pun menjadi sengit untuk menduduki jabatan sebagai kepala dinas dan jabatan lain. Muncullah anekdot wani piro untuk menduduki satu jabatan tertentu.

Kondisi kelebihan pegawai berlanjut karena pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pegawai yang didrop dari pusat. Hanya bisa menunggu mereka pensiun. Tidak ada ruang untuk mengangkat pegawai baru yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan.

Di luar itu ada masalah struktural yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan Dana Alokasi Umum (DAU). Besaran DAU yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah didasarkan pada ukuran  organisasi dan jumlah staf di daerah.

Kontan pemerintah daerah menyambutnya dengan melakukan ekspansi atas struktur organisasi dan menambah jumlah personel agar mendapatkan DAU yang lebih besar. Ditambah lagi dengan ulah kementerian sektoral yang menyetir kepala daerah untuk membuka kantor-kantor cabang dari kementerian ke tingkat Dinas.

Kementerian Pertanian, misalnya, meminta kepada gubernur, bupati dan walikota untuk mendirikan kantor dinas kementeriannya, sehingga banyak pemerintah daerah membuka kantor dinas tersebut tanpa mempertimbangkan manfaat dan kesesuaian dengan karakteristik daerah mereka. Struktur organisasi dibuat gemuk untuk mengadopsi mereka. Satu lagi peluang tercipta bagi para pemburu jabatan.

Perebutan jabatan di pemerintah daerah menjadi semakin sengit  dengan adanya ketimpangan fasilitas antara jabatan struktural dan fungsional. Jabatan struktural merupakan posisi manajerial dalam struktur organisasi yang ranking jabatannya ditentukan oleh tingkat eselon. Sementara itu, jabatan fungsional  merupakan posisi berdasarkan keahlian atau keterampilan yang dimiliki seperti tenaga ahli statistik, guru, dan peneliti.

Jabatan struktural menyediakan insentif yang lebih atraktif dibandingkan dengan jabatan fungsional seperti kesempatan untuk mendapatkan promosi lebih cepat, pensiun diperpanjang jika mencapai posisi tertentu, dan jenis tunjangan yang lebih besar.

Dalam kondisi seperti itu, maka kembali kepada kata-kata bijak bahwa kejahatan terjadi karena adanya niat dan peluang. Bagi pejabat yang berjiwa lemah, maka peluang itu menjadi tarian erotis yang membawanya ke balik jeruji.

Pemerintah bertanggung jawab untuk  menutup sekecil apapun peluang/celah itu dengan melakukan reformasi birokrasi baik dalam hal deskripsi jabatan dan rekrutmen, sehingga tidak ada lagi Tamzil lain di kemudian hari  yang memanfaatkan kelemahan birokrasi untuk keuntungan pribadi. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…