Perlu Tingkatkan Kapasitas Petani Untuk Garam Industri

 

NERACA

Jakarta – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menginginkan kapasitas para petani garam di berbagai daerah dapat benar-benar ditingkatkan agar produk garam yang dihasilkan juga dapat memenuhi kualitas dan kebutuhan industri.

"Pemerintah sebaiknya mengupayakan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitas produksi petani garam. Dengan adanya peningkatan kapasitas petani, diharapkan ke depannya hasil produksi garam lokal juga bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan industri, sehingga pasar mereka semakin luas dan tidak hanya untuk garam konsumsi saja," kata Galuh di Jakarta, disalin dari Antara.

Galuh mengingatkan bahwa selama ini kebutuhan garam industri dipenuhi melalui impor, yang tidak lepas dari belum mampunya para petani garam lokal untuk memenuhi kebutuhan industri.

Selain itu, ujar dia, harga garam lokal juga relatif lebih mahal dari garam impor dan kualitasnya juga masih berada di bawah garam impor. "Garam industri harus memenuhi ketentuan tertentu yang dibutuhkan industri," katanya.

Untuk itu, Galuh mengemukakan bahwa berbagai kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas petani antara lain adalah mengenalkan teknologi bercocok tanam secara teori maupun praktek, pelibatan iptek dan membuka kesempatan kepada para petani untuk belajar langsung ke negara-negara produsen garam besar di dunia.

Ia juga menyebutkan pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan peran penyuluh pertanian supaya mereka bisa memberikan pendampingan kepada para petani garam. "Seharusnya potensi peningkatan pendapatan petani melalui garam industri bisa segera ditanggapi secepat mungkin. Memperluas lahan tambak garam tidak akan sepenuhnya efektif tanpa adanya peningkatan keterampilan produksi petaninya," ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa tata kelola garam di Indonesia semakin hancur karena pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. “Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015,” ujarnya.

Susan menggarisbawahi dua persoalan mendasar dalam PP 9 Tahun 2018 yang menghancurkan tata kelola garam nasional, yaitu: pertama, pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor, sebagaimana tertulis: volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian; dan kedua, pasal 6 persetujuan komoditas impor, sebagaimana tertulis: persetujuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk Bahan Baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP 9 Tahun 2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.

Dalam hal tata kelola Garam, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan bahwa Pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan. “Dalam hal ini impor garam tidak boleh dilakukan berdekatan dengan musim panen garam rakyat karena akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” tambah Susan.

“Tak hanya itu,” lanjut Susan “UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan impor komoditas garam harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri terkait, dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inilah dua hal yang dilanggar oleh PP 9 Tahun 2018.”

Menurut Susan, UU 7 Tahun 2016 telah mengatur persoalan tata garam nasional secara komprehensif, mulai dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. “Namun Pemerintah pusat justru tidak menjadikan UU ini sebagai pedoman, malah membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat,” ungkapnya.

“Pada masa yang akan datang, Indonesia harus berdaulat dalam urusan garam. Artinya pemerintah harus kembali kepada UU 7 Tahun 2016 sebagai aturan main dalam menata pergaraman nasional,” pungkas Susan.

 

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…