Putusan Nuril: Pertentangan Hukum Positif dan Progresif

 

Oleh: Dr. Ahmad Yulianto Ihsan, Lektor STIH Iblam 

   Kasus Baiq Nuril Maknun yang merekam percakapan yang berbau "seks" dengan mantan Kepala Sekolah SMA Neg 7 Nusa Tenggara Barat, (NTB) hingga kini masih menjadi perbincangan menarik. Utamanya para praktisi hukum dan kalangan akademisi hukum. Kasus itu hingga kini sudah berjalan tiga tahun lebih.

   Baiq Nuril Maknun (BNM) seorang guru honorer di SMA Negeri itu dinilai aparat hukum melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disingkat (ITE).

   Pasal 27 ayat 3 antara lain menyebutkan, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Nama baik yang dicemarkan dalam hal ini mantan Kepala Sekolah SMA Neg 7 NTB, sebut saja H M. Muslim.

   Mantan kepala sekolah itu nama baikya di cemarkan, sehingga dia melakukan pengaduan ke Polisi, karena kasus itu merupakan (klacht delik) yang mengharuskan si korban untuk melaporkannya secara langsung. Oleh Polisi berkas itu  dilanjutkannya ke Kejaksaan, (P21) hingga menghantarkan ke dalam persidangan di Pengandilan Negeri (PN) Mataram tahun 2017. 

   Putusan PN Mataram, Nomor 265/Pos.Sus/2017/PN Mtr tanggal 26 Juli 2017  membebaskan Baiq Nuril dari segala tuntutan dengan kata lain, Nuril dinyatakan tidak melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti yang disampaikan oleh pihak penuntut. Namun Kejaksaan tidak terima atas putusan itu kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

     Apakah putusan PN Mataram menjadi salah usai adanya putusan Kasasi dari Mahkamah Agung ? Mengingat putusan tersebut sudah bersifat final atau tidak ada lagi upaya hukum lain kecuali putusan politik hukum yang ada di tangan Presiden sebagai kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

  Kalangan akademisi khususnya di fakultas hukum, pembicaraan soal perlunya mengajarkan sistem hukum progresif kepada para anak didiknya kian mengemuka. Hal itu  agar para mahasiswa kelak dikemudian hari sebagai aparatus hukum, baik polisi, jaksa dan hakim dapat menerapkan reformasi hukum yang tidak semata-mata  dijalankan seperti kaca mata kuda, sesuai dengan pasal-pasal dalam Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan penjajah tu.

    Menurut L Hart (2013), the concept of law, hukum itu bersifat perintah, larangan dan suruhan.  Oleh karenanya, ia menambahkan, positif hukum (positivesme), harus dapat memisahkan antara hukum dan moral. Positivesme hukum, sebagai pendirian lugas yang menyatakan tidak benar jika hukum sebagai reproduksi atau pemenuhan ketentuan moral. Ini artinya, jika para aparatus penegak hukum dalam bertindak menangani kasus, mereka hanya terbatas pada pelaksanaan pasal-pasal yang di dakwakan seperti yang tertera dalam KUHP.

   Positivesme hukum itu tidak hanya dianut oleh Hart, tetapi Hans Kelsen, maha guru hukum dari Jerman juga mengajarkan perlunya menjalankan hukum secara murni (teori hukum murni). Kelsen menyebutkan, hukum itu sebagai peritah pernyataan kehendak, atau hukum sebagai perintah dari para pembuat Undang-undang.

   Dengan demikian, jika ada suatu peraturan yang sudah disepakati oleh mayorita dewan perwakilan rakyat (DPR), semua rakyat harus tunduk dan patuh untuk melaksanakannya termasuk rela diberi sanksi oleh penegak hukum. Hukum murni juga disebut hukum positive yang harus dijalankan dengan memisahkan agama dan moralitas manusia.

    Tatkala Polisi Mataram memidanakan Baiq Nuril pada 17 Maret 2015,  banyak pihak berteriak dan berekasi untuk melakukan pembelaan terhadap Baik Nuril. Nuril harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi hingga akhirnya resmi ditahan pada 27 Maret 2017. (Kompas.com 2019).

   Saat BNM ditahan, lebih dari 28 orang dan lembaga rame-rame menandatangani sebuah petisi. Intinya memohon kepada Polisi untuk segera membebaskannya  demi kemanusiaan karena dia mempunyai 3 anak yang masih kecil, dan dia juga tidak bersalah. Diantara orang yang akan menjamin antara lain, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Perdagangan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ketua DPRD Lombok Timur, Ketua Komisi V DPRD Provinsi NTB dan beberapa lembaga lainnya.

   Yati Andriani, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan, dakwaan yang dialamatkan Baiq Nuril, melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE)  adalah bentuk kriminalisasi.

  Polres Mataram meskipun ada reaksi keras dari sebagian masyarakat tidak mau memutus perkara itu (melakukan penghentian penyidikan/SP) namun terus melanjutkan ke Kejaksaan hingga proses persidangan di PN Mataram. Oleh hakim di PN Mataram, kaus BNM dibebaskan dari segala tuntutan karena dinilai tidak terbukti bersalah atau melanggaran Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Dalam kaitan itu, banyak orang khsusunya para pegiat organisasi perempuan dan lembaga swadaya lainnya, memuji para hakim di PN Mataram tersbeut. Putusan itu sudah benar karena mengedepakan hukum sebagai alat yang membahagiakan manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan untuk menghukum manusia.

   Satjipto Raharjo (2007) menyebutkan, hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan kepentingan yang lebih luas yaki kebagiaan dan kemulyaan manusia. Putusan PN Mataram  dinilai banyak pihak bagian dari pelaksaan hukum progersif yang tidak semata-mata melihat Pasal 27 ayat 3 semata.  Tetapi para hakim tampknya punya alasan lain untuk membebaskan Baiq Nuril dari tuntutan itu. Apakah karena adanya tekanan sebagian masyarakat, ataukah karena cara pandang hakim telah meninggalkan persepsi hukum positif. Hanya para hakimlah yang memahami hal itu.

   Di lain pihak tugas dan fungsi Kejasaan Negeri antara lain pelaksanaan  penegakan  hukum baik  preventif  maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana. Oleh karenanya, ketika tuntutannya di kalahkan oleh PN Mataram, sebelum lewat 14 hari kerja Kejaksaan melakukan perlawanan hukum, melakukan kasasi ke MA. Apa hasil dari kepusan itu ?

   Melalui putusan No 574K/PID.SUS/2018 tanggal 26 September 2018, MA mengabulkan kasasi Kejaksaan Mataram, dengan menghukum Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 3 bulan penjara.

   Hakim MA menilai hukuman itu dijatuhkan pada Nuril lantaran telah merekam percakapan asusila Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, H Muslim. Nuril dinilai membuat keluarga besar Muslim menanggung malu. Atas putusan itu, kuasa hukum Nuril mengajukan upaya hukum luar biasa mengajukan Permohonan PK. Namun upaya PKitu juga kandas karena MA menolaknya,  sehingga putusan itu seyogianya dapat dieksekusi demi kepastian hukum. Namun seiring desakan dari berbagai elemen masyarakat, Kepala Jaksa Agung Prasetyo memerintahkan kepada Kejaksaan Mataram untuk melakukan penagguhan eksekusi. Mungkin adanya "sinyal" Presiden akan memberinya amnesti lewat pertimbangan DPR.

    Makna apa  yang dapat dipetik dalam hiruk pikuk peradilan Baiq Nuril sejak tahun 2017 hingga saat ini?  Pertama, ada perbedaan tafsir soal mentransmisikan seperti yang tertera dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE antara hakim di PN Mataram dengan hakim-hakim di MA yang memutus kasus tersebut. Hakim PN Mataram dinilai sebagian orang sudah menggunakan sistem hukum progresif yang tidak hanya melihat teks pasal. Tetapi juga melihat konteks, yakni soal etika yang ditabrak oleh  H. Muslim melakukan pembicaraan "syur" kepada Nuril sebagai bawahanya. Etika yang ditabrak itulah cikal bakal adanya masalah hukum hingga terjadi perekaman ilegal dan melakukan transmisi berita kepada pihak lain hingga mengakibatkan tercemarnya keluarga Muslim di NTB.

    Kedua, bisa jadi putusan PN Mataram itu karena adanya tekanan dari sebagian masyarakat, seolah Nuril tidak bersalah, tidak melakukan pengunggahan dan oleh karenanya minta dibebaskan. Namun MA melihat sisi lain, adanya keadilan itu antara lain jika diwujudkannya kepastian hukum. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik dalam UU ITE termuat dalam Pasal 27 ayat (3) yang dapat dipidana maksimal 4 tahun atau lebih rendah dua tahun dari UU sebelumnya No 11 Tahun 2008.

   UU itu  awalnya untuk melindungi transaksi keuangan atau sebagai antisipasi globalisasi ekonomi,  menjadikan elektronik sebagai basis utama. Namun dalam perkembangannya, justru bukan soal perdagangan lewat elektronik. Tetapi soal pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan oleh seorang, baik kepada pengusaha maupun penguasa yang mengemuka dalam sidang-sidang di pengadilan negeri.

    Oleh karena itu hendaknya hal ini menjadi perhatian kita bersama untuk dapat mengembalikan niat awal bawa UU itu dialamatkan sebagai antisipasi globalisasi ekonomi bukan urusan pidana umum yang ada dalam KUHP.

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…