Tarif Pajak Batal Turun?

 

Oleh: Endah Sitarasmi, Staf Ditjen Pajak

Wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang sempat diperbincangkan khalayak ramai sepertinya belum akan terlaksana tahun ini. Tarif PPh Badan yang semula direncanakan turun dari 25% menjadi 20% masih menemui kendala terutama dari sisi payung hukum.

Berdasarkan informasi pada laman www.dpr.go.id, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2019 sebenarnya telah mengagendakan pembahasan penurunan tarif pajak tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)  telah diajukan oleh pemerintah dan dicantumkan pada nomor urut 20. Akan tetapi pada acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman tentang Penguatan dan Pemanfaatan Basis Data Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Korporasi oleh 6 (enam) kementerian di Hotel Sultan, Jakarta (3/7/2019), Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyatakan bahwa waktu yang tersisa hingga akhir tahun tak cukup untuk menyelesaikan pembahasan RUU tersebut, sehingga penurunan tarif PPh badan tersebut sepertinya belum dapat terealisasi di tahun ini.

Kembali ke masalah tarif PPh badan, beberapa negara di dunia telah melakukan penurunan tarif pajaknya. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis data yang membandingkan tarif pajak negara-negara di dunia tahun 2017-2018. Data statistik tersebut mencantumkan corporate income tax rate (tarif PPh badan) dari 95 negara baik yang bergabung dalam OECD maupun tidak. Sejumlah 5 negara diantaranya menaikkan tarif pajak antara 0,4%-5% (India, Portugal, Turki, Korea, Latvia). Sebaliknya, 10 negara menurunkankan tarif pajak sebesar 0,2%-14% yaitu Jepang, Norwegia, Israel, Luxemburg, Senegal, Saint Vincent & Grenadine, Belgia, Argentina, Perancis dan Amerika Serikat. Sedangkan tarif pajak badan di 80 negara lainnya tetap.

Penurunan tarif pajak korporasi terbesar dilakukan oleh Amerika Serikat dengan memangkas tarif pajak secara ektrim dari 35% menjadi 21% di bulan Desember 2017 melalui program Tax Cuts and Jobs Act. Ternyata tren penurunan tarif ini tidak hanya terjadi di tahun 2018 saja, tapi merupakan tren dari tahun-tahun sebelumnya. OECD melakukan penelitian yang menyatakan bahwa tarif pajak global menunjukkan tren menurun selama dua puluh tahun terakhir.

Stabilisasi Ekonomi Makro

Rencana penurunan tarif PPh badan adalah salah satu langkah pemerintah dalam rangka stabilisasi ekonomi makro melalui kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini tertuang dalam paket kebijakan ekonomi untuk mengatasi perlambatan ekonomi akibat pelemahan ekonomi global, memperkuat data saing dan perbaikan struktur ekonomi nasional. 

Penurunan tarif pajak diharapkan dapat menggerakkan sektor riil, karena bisa menekan biaya operasional sehingga produsen dalam negeri mampu memproduksi barang/jasa dengan kualitas dan harga yang lebih murah. Selain itu, tarif pajak yang kompetitif diharapkan dapat menarik lebih banyak investor ke dalam negeri, dan selanjutnya diharapkan dapat mendongkrak tax ratio (rasio pajak). Rasio ini menyatakan jumlah pajak yang dikumpulkan pada suatu masa berbanding dengan pendapatan nasional di masa yang sama. Rasio pajak merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak.

Gagasan penurunan tarif pajak ini perlu dicermati dan dikaji dengan seksama. Di kawasan ASEAN, tarif pajak di negara kita relatif tinggi. Tarif tertinggi dimiliki oleh Filipina (30%), disusul Indonesia dan Myanmar (25%), Malaysia dan Laos (24%), Thailand, Vietnam dan Kamboja (20%), sedangkan tarif terendah dipegang oleh Singapura (17%).

Dampak jangka pendek dari penurunan tarif ini perlu diperhitungkan dengan matang, karena sangat mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan. Apalagi target penerimaan pajak belum pernah tercapai sejak 10 tahun terakhir. Penurunan tarif dalam kondisi perekonomian saat ini, tentu semakin mempersulit pencapaian target penerimaan pajak tahun ini, yang berdampak langsung pada pembiayaan pembangunan. Sedangkan dampak lanjutan yang diharapkan adalah kenaikan laba korporasi sehingga meningkatkan tax ratio secara keseluruhan.

Negara kita pernah menurunkan tarif PPh Badan yang semula 30% menjadi 28% di tahun 2008, kemudian diturunkan kembali dari 28% menjadi 25% di tahun 2010, dan ternyata kebijakan itu tidak mampu mendongkrak tax ratio secara signifikan pada tahun-tahun setelahnya. Data yang bersumber dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyatakan bahwa rasio pajak tahun 2008 justru turun dari 13,92% (tahun 2007) menjadi 13,3% (tahun 2008). Sedangkan rasio pajak pada tahun 2010 adalah 12.9%, lebih tinggi dari tahun 2009 yang sebesar 12,1%.

Berdasarkan data tax revenue (% of GDP) yang bersumber dari World Bank, penurunan tarif pajak yang berakibat penurunan tax ratio terjadi di negara tetangga kita Thailand. Negeri Gajah Putih ini telah menurunkan tarif pajak dari 30% menjadi 23 % di tahun 2012 yang mengakibatkan penurunan tax ratio yang semula 16.36% menjadi 15.44%. Demikian juga Rusia yang menurunkan tarif pajak di tahun 2009 dari 24% menjadi 20%, mengakibatkan anjloknya tax ratio dari 15.81% menjadi 12.95%. Lain halnya dengan China, mereka berhasil mendongkrak tax ratio dari 9.9% ke 10.3% melalui penurunan pajak yang semula 33% menjadi 25% di tahun 2008. 

Penurunan tarif pajak sebaiknya diimbangi dengan paket kebijakan lain, misalnya pembenahan infrakstuktur dalam rangka perbaikan basis data wajib pajak, evaluasi tax allowance (pengurangan pajak  penghasilan untuk bidang usaha/daerah tertentu) dan tax holiday (pengurangan atau penghilangan pajak secara sementara) agar lebih tepat sasaran, serta perbaikan struktur penghasilan kena pajak untuk melindungi dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat ekonomi lemah.

Selain itu kesuksesan agenda lain dalam kebijakan ekonomi pemerintah sangat mempengaruhi tindak lanjut program penurunan pajak korporasi ini. Tidak mudah mengambil keputusan dalam suasana perlambatan ekonomi global. Ibarat seseorang yang sedang sakit komplikasi dan harus minum obat, maka resep yang dibuat harus tepat jenis maupun dosisnya, benar cara dan saat minum obatnya, supaya lebih cepat sembuh dan terhindar dari efek samping yang merugikan.

Mari kita kita tunggu para pemangku kepentingan menimbang dengan matang dampak kebijakan ini.  Apapun yang diputuskan oleh pemerintah dan wakil kita di Dewan Perwakilan Rakyat, semoga dapat meningkatkan kesejahteraan dan membawa kebaikan untuk negeri ini. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…