Jakarta – Daripada repot-repot menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi karena takut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jebol, pemerintah lebih baik memperbesar pendapatan negara. Langkah ini bermanfaat mengisi kas APBN. Salah satunya dengan cara menaikkan penerimaan jatah royalti dari perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia.
NERACA
Menurut Andrie S Wijaya, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), penyehatan APBN lewat peningkatan royalti pertambangan sangat rasional dan wajib dilakukan pemerintah. Karena itu adalah hak bangsa Indonesia.
“Tapi persoalannya bukan bisa atau tidak, pemerintah mau atau tidak. Kita bisa mengaca pada sejarah. Tahun 1991, kita punya kesempatan untuk merebut 100% kepemilikan PT Freeport. Tapi apa yang terjadi? Kontrak Freeport yang seharusnya habis pada 1997 malah diperpanjang 30 tahun,” ketusnya saat dihubungi Neraca, Rabu (28/3).
Andrie menyebut, potensi pendapatan di sektor pertambangan non-migas sangat besar, bahkan bisa mencapai ratusan triliun rupiah. “Bayangkan kalau Indonesia bisa mengambil-alih kepemilikan Freeport 100%, berapa ratus triliun rupiah pendapatan negara bisa diperoleh tiap tahun. Sementara pendapatan negara dari perusahaan tambang besar sejauh ini masih sangat kecil dibanding pendapatan perusahaan itu sendiri,” tandasnya.
Dia menegaskan, sejauh ini pemerintah terlalu lemah dalam persoalan renegosiasi kontrak karya, apalagi melawan Freeport. Aparat pemerintah terlalu tunduk pada kepentingan asing. Pada 1997, berita kemenangan Freeport memperpanjang kontrak ekslusifnya sangat menghebohkan. Selain itu pendapatan royalti pertambangan seolah ditutup-tutupi oleh aparat pemerintah.
“Ini hanya persoalan mau atau tidak. Pemerintah dan aparatnya masih suka menerima royalti atau pendapatan recehan dari tambang asing, atau bahkan mengemis untuk dapat royalti 3%. Kesempatan dapat Freeport 100% tidak dimanfaatkan pada 1991. Sementara sekarang kita seperti mengemis ke asing dapat royalti 3%. Ini kan tidak masuk akal,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, selama ini kontribusi penerimaan hasil pertambangan nonmigas terhadap APBN masih sangat kecil. Padahal produksi, ekspor, dan harga komoditas mineral hasil pertambangan umum seperti emas, tembaga, nikel, perak dan batubara sangat besar dan saat ini harganya di pasar internasional sangat tinggi.
“Mengapa penerimaan, baik unsur pajak maupun non-pajak atau royalti, relatif sangat kecil? Berarti ada kesalahan fatal dalam model pengelolaan pertambangan umum. Penyebabnya, penggunaan sistem kontrak karya berikut turunannya. Kontrak karya ini kelanjutan model konsesi zaman kolonial. Model pengelolaan yang tidak sesuai dengan konstitusi,” tegas dia, kemarin.
Padahal, lanjut Marwan, amanat Undang-Undang (UU) sudah sangat jelas tertera dalam pasal 33 UUD 45. Tinggal bagaimana amanat konstitusi dijalankan oleh Pemerintah lewat pembuatan UU sebagai aturan operasional agar dominasi negara bisa tercapai. Untuk itu memang perlu ada komitmen yang kuat dan keberanian dari pemerintah untuk menghadapi dominasi swasta asing.
“Masalahnya, saya tidak melihat keberanian dan komitmen itu. Komitmen lemah, keberanian juga tidak ada. Ketika berhadapan dengan konglongmerat besar misalnya, pemerintah jadi tidak jelas sikapnya. Karena mereka takut, selain itu ada yang diuntungkan dengan ketika mendapat kesempatan berkuasa. Ada orang yang berada di lingkaran kekuasaan, orang partai politik punya agenda menanamkan saham di sana dengan begitu mereka mendapatkan keuntungan. Istilahnya, kesempatan daerah yang dijamin UU dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Daerah hanya dijadikan tunggangan untuk keuntungan mereka,” jelasnya.
Dampak Negatif
Senada dengan Marwan, Pengamat Energi, Kurtubi menilai, pemerintah tak perlu menaikan harga BBM karena bisa menimbulkan efek negatif bagi perekonomian. Alasannya, menaikan BBM justru kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi. Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah kalau alasannya cuma untuk menyelamatkan APBN.
Kurtubi mengungkap, pemerintah bisa menyelamatkan APBN 2012 tanpa membebani rakyat. Salah satunya langkah strategis yang harus ditempuh pemerintah adalah dengan menaikan royalti pertambangan.
Selama ini, papar Kurtubi, pemerintah tidak mampu mengeksekusi ketentuan yang sudah menjadi aturan pemerintah ke dalam Kontrak Karya Pertambangan. “Dalam Peraturan Presiden (Perpres) itu Freeport harus bayar 3,75%. Kenyataannya di MoU cuma 3%. Itupun masih sangat kecil dan dipotong dari ketentuan. Seharusnya pasang di Perpres tinggi jadi kalau dipotong, royalti bisa tetap tinggi,” jelasnya.
Menurut Kurtubi, angka ideal pembagian royalti dengan Freeport harus sebesar 51:49. “Yang sekarang itu memang sangat kecil. Harusnya bisa saja segitu. Itu kalau pemerintahnya mau tahu, berani. Nah sekarang itu mereka tidak mau tahu, apa pura-pura gak tahu apa memang tidak berani. Selamatkan APBN ada cara lain, salah satunya opsi tadi ketimbang naik BBM ribut sama rakyat,” tegasnya.
Di sisi lain, Kurtubi menekankan, pemerintah harus memperketat sasaran lifting minyak di APBN untuk memberi tambahan anggaran sekitar Rp 65 triliun. Jika kebijakan tersebut bisa dieksekusi pemerintah, Kurtubi optimis pendapatan kas negara dari sektor migas akan lebih memberikan pengaruh signifikan daripada menaikan harga BBM Rp 1500 per liter yang hanya menyelamatkan Rp 45 triliun. “Belum terlambat bagi pemerintah bila ingin membatalkan rencana kenaikan harga BBM,” ujarnya.
Sebelumnya, terkait dengan upaya menyelamatkan APBN dan mengurangi ketergantungan terhadap BBM, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Achmad Erani Yustika, negara perlu mengendalikan Sumber Daya Alam yang kita punya agar APBN kita bertambah dan bisa mencukupi subsidi yang selama ini pemerintah keluhkan karena terlalu besar jumlahnya. “Mengembalikan penguasaan pengelolaan SDA kepada negara. Asing atau swasta boleh saja memiliki SDA yang kita punya, tapi jangan lebih dari 20%,” ungkapnya.
Menurut dia, penguasaan sektor sumber daya alam perlu dikuasai oleh pemerintah lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Itu artinya, mengembalikan bahwa pemerintah memiliki kedaulatan dalam SDA sendiri dan mencegah praktek-praktek penyimpangan dan manipulasi data mengenai distribusi, produksi,” ujarnya.
Tentunya, lanjut Erani, hal tersebut harus dibarengi dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu membuat roadmap energi alternatif. “Kita tahu cadangan energi Indonsia semakin lama semakin menyusut dan oleh karena itu, mengembangkan energi alternatif tidak bisa ditunda lagi. Hal itu harus segera dikerjakan sehingga nantinya jika betul-betuk tidak memiliki cadangan lagi khususnya minyak, kita tidak akan khawatir karena memiliki energi alternatif dengan harga yang terjangkau,” lanjutnya.
Ia mengatakan saat ini Indonesia tidak bisa memprediksi harga minyak pada tahun-tahun yang akan datang. “Buktinya pada APBN 2012, prediksi pemerintah harga minyak sampai ICP US$ 95 perbarel, namun kenyataannya harga ICP saat ini bisa sampai US$ 105 perbarel. Tahun 2009 saja harga ICP rata-rata masih US$ 45 perbarel. Tahun depan kita tidak bisa memastikan, bisa saja harga minyak bisa sampai US$ 200 perbarel,” lanjutnya.
Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…
NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…
Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…
Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…
NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…
Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…