Salahkah Otonomi Daerah (Otda)?

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Arus balik telah selesai dan geliat ekonomi arus balik sangat terasa, terutama di daerah tujuan mudik. Kekhawatiran terkait kecelakaan telah diantisipasi pemerintah, termasuk sidak di sejumlah terminal dan sejumlah korporasi rutin menyelenggarakan mudik gratis sebagai upaya memperkuat interaksi sosial bisnis dan membantu pemerintah mereduksi kemacaten - kecelakaan. Bahkan, ruas tol diberlakukan satu arah demi memperlancar dari dan ke Jakarta juga berbagai daerah peyangga misal Bodetabek. Selain itu, fasilitas rest area ditingkatkan yang kesemuanya untuk memanjakan. Mudik dan balik tiap tahun pada dasarnya tidak terlepas dari problem pemerataan dan komitmen otda pada dasarnya untuk mereduksi ketimpangan, meski fakta lebih 10 tahun era otda justru ketimpangan kian lebar dan arus balik selalu lebih tinggi dibanding arus mudik. Artinya, pemerataan pembangunan belum berhasil dan karenanya pembangunan infrastruktur penting untuk mereduksi ketimpangan.

Data mudik menegaskan tahun 2017 ada 20 juta pemudik, di tahun 2018 menjadi 21,6 juta atau naik 6 persen dan pada tahun ini ada 23 juta pemudik. Ketika arus mudik – balik membutuhkan koordinasi sektoral dan lintas sektoral maka di sisi lain yang juga menarik dicermati adalah bagaimana mendukung pemerataan sebaran pembangunan sehingga migrasi ke perkotaan dan atau daerah perantauan semakin kecil. Artinya ini selaras dengan harapan otda yang memakmurkan ekonomi di daerah. Selain itu, harapan dari alokasi dana desa dan kelurahan juga semestinya bisa diterapkan untuk mendukung pembangunan daerah, termasuk memacu pengembangan BUMDes untuk menggerakan ekonomi di perdesaan secara sistematis dan berkelanjutan sehingga mereduksi migrasi ke perkotaan dan atau daerah tujuan perantauan.

Jaminan Kesejahteraan

Terlepas dari berbagai euforia dibalik implementasi otda, termasuk semakin maraknya tuntutan pemekaran, bahwa era otda yang mulai berlaku 1 januari 2001 belum memberi hasil optimal terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran secara sistematis. Bahkan 15 tahun sejak otda bergulir ternyata kini justru kian banyak terjadi kemiskinan, kasus korupsi kepala daerah dan politik dinasti. Padahal, seharusnya otda memberikan manfaat terbesar melalui penguatan ekonomi lokal yang memberdayakan masyarakat.

Fakta ini menegaskan pemekaran memang perlu dikaji ulang sehingga esensi terhadap tujuan era otda yang meningkatkan kesejahteraan bisa tercapai, bukan sebaliknya justru memacu ego pemekaran. Kegagalan otda ditunjukan dengan masih tingginya arus balik pasca lebaran dibanding arus mudik dan Jawa khususnya Jakarta masih menjadi tujuan utama arus balik sehingga konsentrasi masih berkutat di Jawa. Jika nanti ibu kota jadi dipindah apakah Jakarta masih menjadi tujuan arus balik dan perantauan?

Fenomena migrasi menjadi isu penting terkait pemerataan pembangunan yang tidak bisa terlepas dari tuntutan pendanaan pembangunan. Artinya, mata rantai dari hal ini adalah kebutuhan pendanaan alokasi anggaran negara sedangkan kemandirian pendanaan selama ini selalu ditutup dengan hutang luar negeri, sementara kebutuhan pembangunan infrastruktur juga terkendala pendanaan, meski di sisi lain kebutuhan terhadap subsidi kian meningkat.

Oleh karena itu, ini menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Jokowi - Ma’ruf yang memenangkan pilpres, terutama memacu daya tarik investasi dan sebaran pemerataannya. Setidaknya realisasi investasi tahun 2018 sebesar Rp721,3 triliun atau naik 4,1% (terealisir 94% dari target Rp.765 triliun) dan PMDN Rp328,6 triliun atau naik 25,3% dibanding tahun 2017, sedangkan realisasi PMA Rp392,7 triliun atau turun 8,8% sementara target di tahun 2019 sebesar Rp.792,3 triliun yang cenderung ambisius. Ironisnya sebaran investasi masih terkonsentrasi di Jawa dan berdasar lokasi 5 besar yaitu: Jawa Barat (Rp29,3 triliun, 16,8%), DKI Jakarta (Rp26,2 triliun, 15,1%), Banten (Rp16,1 triliun, 9,3%), Jawa Tengah (Rp14,3 triliun, 8,2%), dan Jawa Timur (Rp11,5 triliun, 6,6%).

Persoalan Serius

Tantangan memberi kesempatan bagi daerah pada umumnya dan desa khususnya untuk mandiri dan membangun daerahnya sendiri memungkinkan daerah dan juga desa untuk menentukan arah pembangunan yang terbaik bagi internal. Argumen yang mendasari tidak terlepas dari kemampuan daerah dan desa untuk memetakan semua persoalan yang ada dan potensi yang mampu dikembangkan. Keyakinan ini juga didukung alokasi dana desa termasuk juga dana kelurahan. Meskipun demikian tetap harus dicermati potensi dibalik alokasi dana desa. Yang mendasarinya karena dana desa meningkat tiap tahun di 2015 sebesar Rp20,67 triliun, tahun 2016 menjadi Rp46,98 triliun, tahun 2017 dan 2018 Rp60 triliun, dan di 2019 Rp70 triliun sehingga total periode 2015-2019 Rp257 triliun.

Bahkan Presiden Jokowi menegaskan akan meningkatkan alokasi dana desa total Rp400 triliun di 5 tahun mendatang 2019-2024. Alokasi di 2015-2019 sebesar Rp257 triliun dengan formulasi 77% dibagi rata ke seluruh desa, 20% dialokasikan tambahan secara proporsional ke desa berdasar jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, tingkat kesulitan geografis dan luas wilayah.

Pentingnya pembangunan melalui keterlibatan desa sebagai subyek pada dasarnya tidak terlepas dari potensi yang ada di desa dan realita persoalan kemiskinan – pengangguran yang bermuara di desa. Realitas yang ada menegaskan bahwa nilai tukar pertanian yang rendah berpengaruh terhadap laju migrasi ke perkotaan sehingga arus balik pasca mudik selalu tinggi. Padahal, migrasi ke perkotaan yang tidak terbendung berpengaruh negatif bagi perkotaan - perdesaan. Fakta ini memberikan gambaran membangun perekonomian daerah memberi manfaat ganda yaitu selain mereduksi kemiskinan dan pengangguran, juga migrasi.

Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan dengan mengintegrasikan semua program misal program keluarga harapan (PKH), beras sejahtera (Rastra), bantuan pangan non tunai (BPNT), program Indonesia pintar (PIP), program Indonesia sehat (PIS) dan subsidi energi yang terdiri subsidi listrik, bahan bakar minyak dan gas. Sukses pembangunan desa akan mereduksi migrasi dan mengurangi arus mudik sehingga perantau yang gagal tidak ada lagi yang bernyanyi ‘pulang malu tak pulang rindu…..’. Jadi ini menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Jokowi-Ma’ruf untuk 5 tahun ke depan.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…