Perundingan Indonesia-EU CEPA Dinilai Tidak Terpantau Publik

NERACA

Jakarta – Sekelompok organisasi masyarakat sipil mendesak agar Pemerintah Indonesia dan DPR RI membuka informasi dan melibatkan publik dalam segala proses perundingan perjanjian perdagangan bebas (FTA), salah satunya adalah Indonesia-EU CEPA. Hal ini karena, selama ini perundingan-perundingan FTA selalu dilakukan secara tertutup dan tidak transparan, sehingga publik tidak dapat mengakses dan menganalisis dampak yang akan ditimbulkan dari teks FTA yang sedang dirundingkan atau telah selesai dirundingkan.

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menyatakan bahwa bukti pemerintah tidak pernah transparan dan melibatkan publik luas dalam perundingan FTA adalah ketika pemerintah Indonesia merundingkan CEPA dengan Uni Eropa di Jakarta pada 17-21 Juni 2019.

“Perundingan IEU CEPA ke-8 yang dilaksanakan minggu lalu di Jakarta jauh dari pantauan publik. Bahkan DPR RI tidak mengetahui jika pemerintah Indonesia sedang berunding oleh Uni Eropa mengenai Kerjasama perdagangan dan investasi yang comprehensive (CEPA)”, kata dia disalin dari siaran resmi.

Perjanjian CEPA (perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif) merundingkan puluhan bab yang akan menurunkan tariff, membuka pasar Indonesia untuk produk Eropa dan sebaliknya, membuka pasar sektor jasa untuk supplier asing, mengubah beberapa aturan perundangan di bidang investasi, hak kekayaan intelektual.

Rachmi kembali menegaskan bahwa ricuh soal persoalan ancaman defisit neraca perdagangan Indonesia berkepanjangan menjadikan Pemerintah Indonesia gagal fokus dalam perundingan FTA. Selama ini FTA atau perundingan ‘kerjasama ekonomi’ dilihat dari bagaimana hasilnya akan menaikkan ekspor komoditas Indonesia di pasar negara partner. Namun dalam kenyataannya FTA merupakan perjanjian yang komprehensif, yang komitmennya tidak hanya menurunkan tarif barang ekspor dan impor tetapi juga akan mengubah berbagai perundangan yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas.

“Sangat disayangkan, pemerintah selama ini telah gagal fokus hanya melihat FTA dari kepentingan ekspor saja yang sebenarnya terbukti tidak akan naik signifikan jika tidak dibarengi dengan perubahan struktural dalam strategi kebijakan perdagangan Indonesia, khususnya daya saing Indonesia. Namun, satu hal yang pasti terjadi setelah FTA/CEPA ditandatangani, yaitu terjadi perubahan bahan peraturan perundang-undangan nasional untuk disesuaikan dengan aturan FTA, dan ini berpotensi berdampak terhadap kedaulatan rakyat. Nah, kalo Pemerintah tidak membuka akses teks kepada publik, maka bisa dipastikan akan semakin banyak undang-undang nasional yang merugikan kepentingan rakyat” tegas Rachmi.

Rachmi mencontohkan dua bab yang selalu menjadi ancaman di setiap perundingan FTA atau CEPA terutama dengan mitra negara-negara maju, seperti Jepang, dan Uni Eropa, yaitu bab investasi dan HKI/hak kekayaan intelektual. Untuk bab investasi, Rachmi menyebutkan Indonesia telah menandatangani perjanjian bilateral investasi dengan mitra dagang utama di Uni Eropa. Bahkan aturan dalam Bab Investasi ini dilengkapi dengan mekanisme yang membuka peluang investor asing menggugat Pemerintah Indonesia di lembaga arbitrase Internasional.

“Bab investasi ikut dirundingkan di dalam CEPA, dimana kita sudah punya banyak pengalaman merugikan dari aturan perlindungan Investasi, yakni kita digugat investor asing, dan ini mengancam kedaulatan Negara. Walau pun kita menang di beberapa kasus, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengeksekusi putusan arbitrase internasional. Pengalaman kasus melawan Churchill Mining harus jadi pelajaran bagi kita semua” terangnya.

Sindi  Putri dari Indonesia AIDS Coalition menegaskan bahwa kepentingan masyarakat dalam mengakses obat-obatan yang diperlukan seharusnya menjadi kepentingan utama yang harus dikedepankan dalam setiap penyusunan perjanjian perdagangan. Karena itu Sindi mengungkapkan keprihatinannya atas proposal yang dirundingkan dalam EU-Indonesia CEPA khususnya terkait dengan Bab HKI.

“Proposal seperti perpanjangan paten, eksklusifitas data, pengaturan perbatasan, dan penegakan hukum yang berlebihan  dalam HKI akan menurunkan kompetisi, menaikkan harga obat, akan mempengaruhi akses pada obat-obatan”, jelas Sindi.

Lebih detail, Sindi menjelaskan, perpanjangan paten misalnya, akan memperlambat masuknya obat versi generik ke pasar sehingga akan memperpanjang monopoli pemegang paten.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…