Indonesia Bisa Jadi Korban Perang Dagang AS-China

 

NERACA

Jakarta – Wakil Presiden Eksekutif Hubungan Internasional Institut China, Ruan Zongze, menyebut bahwa Indonesia bisa saja menjadi korban dari perang dagang yang terjadi antara China dengan Amerika Serikat (AS). Hal itu terjadi karena perselisihan dagang tersebut mengganggu rantai suplai global, di mana China dan AS memegang peranan vital. Dalam rantai normal, Indonesia dan negara-negara ASEAN mengekspor ke China, dan China akan mengekspor ulang ke AS. “Indonesia juga akan menderita akibat gangguan itu, karena kemungkinan pangsa pasar akan menjadi lebih sempit,” kata Ruan dalam acara jumpa wartawan di Jakarta, disalin dari Antara.

Menurut Ruan, pendapat yang menyebut bahwa Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara akan mendapat keuntungan dari perselisihan tersebut adalah suatu observasi jangka pendek. “Saya tidak begitu setuju dengan observasi bahwa ASEAN atau Indonesia akan mendapat keuntungan, karena faktanya ada potensi kerusakan untuk Indonesia,” ujar dia.

Tidak hanya berpotensi menjadi korban dalam perselisihan dua negara ini, Indonesia juga mungkin saja bisa menjadi target perang dagang AS. Perihal itu, Ruan menyebut hubungan internasional AS menggunakan pendekatan unilateral (tindakan sepihak) dan proteksionisme sehingga bukan tidak mungkin jika AS akan mencari target negara-negara lainnya, bukan hanya China.

Ruan menggarisbawahi perselisihan dagang itu sebagai hal yang mengglobal. Dia mengibaratkan China dan negara-negara ASEAN berada dalam perahu yang sama, di mana “tidak ada satu pun yang bisa selamat dari cuaca buruk ini.”

Ruan menekankan, Indonesia dan negara-negara ASEAN membutuhkan kerja sama, khususnya untuk menghadapi kemungkinan penyempitan pangsa pasar. “Kita harus mencari tahu apa prioritas yang sesungguhnya dari perselisihan dagang ini. Prioritas nomor satu adalah multilateralisme,” ujar dia. Multilateralisme, menurut Ruan, merupakan kunci bagi perkembangan masa depan Indonesia, juga bagi integrasi ASEAN.

Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai tidak cukup hanya dengan mengejar nilai ekspor dengan memperbanyak FTA untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan Indonesia. Hal ini karena, persoalan defisit neraca perdagangan Indonesia dikarenakan masalah struktural dalam kinerja perdagangan yang mempengaruhi fondasi perekonomian nasional dalam jangka panjang. Kondisi Perang Dagang berkontribusi terhadap perburukan kinerja perdagangan Indonesia.

Oleh karena itu, perlu strategi tepat untuk memperbaiki struktur kebijakan perdagangan Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing. Hal ini disampaikan dalam acara diskusi mengenai Di bawah Bayangan Perang Dagang & Ancaman Defisit Berkepanjangan, yang diselenggarakan oleh IGJ di Jakarta (18/6). Diskusi ini dilakukan bersamaan dengan momentum perundingan Indonesia-EU CEPA pada 17-21 Juni 2019 di Jakarta.

 Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa strategi Pemerintah Indonesia sangat reaktif dalam menyelesaikan persoalan defisit neraca perdagangan. Penambahan sebanyak 12 perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional, bukanlah jawaban tepat untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Pembukaan pasar melalui FTA memang memungkinkan untuk membuka peluang ekspor yang lebih besar, tetapi bukan berarti dengan sendirinya mampu menaikan nilai ekspor.

“Meningkatkan ekspor tetapi hanya dengan bermodalkan komoditas yang bernilai tambah rendah akan sulit memanfaatkan potensi pasar yang ada. Lagi pun, membuka akses pasar dalam kerjasama FTA dengan menetapkan tarif 0% hampir di 100% pos tarif juga membuka potensi ancaman peningkatan nilai impornya. Diperlukan juga skema antisipasinya. Maka, ke depan Pemerintah Indonesia harus menata kebijakan perdagangan secara struktural, dan bukan sekedar strategi reaktif yang jangka pendek, jelas Rachmi.

Rachmi mendesak Pemerintah Indonesia agar tidak hanya bicara soal ekspor, tetapi juga menyusun strategi Kebijakan Non-Tarriff Measures (NTMs) yang harus diperkuat untuk menjadi strategi dalam menyiasati gempuran impor. pemerintah perlu menyusun strategi NTMs yang dapat melindungi pemanfaatan produk domestik dalam kegiatan ekonomi nasional tanpa harus takut kita digugat di WTO. Negara industri lebih banyak menerapkan NTMs ketimbang Indonesia, dan malah mereka juga yang lebih sering menggugat Indonesia, terang Rachmi.

 Rachmi juga menambahkan, bahwa aturan dalam kerjasama FTA jangan sampai menjadi boomerang bagi matinya industri lokal. Hal ini karena banyak aturan FTA yang akhirnya membatasi gerak pemerintah untuk dapat menyusun kebijakan untuk memperkuat industri lokal.

BERITA TERKAIT

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…