Rating Utang Naik Diiringi Kenaikan Utang

 

 

NERACA

 

Jakarta – Belum lama ini, lembaga rating utang berbasis di Amerika Serikat Standard & Poor's (S&P) menikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB dengan prospek stabil. Setelah sebelumnya S&P memberikan peringkat BBB- pada Mei 2017. Dalam laporannya, S&P menyatakan ekonomi Indonesia secara konsisten lebih baik dari negara-negara dengan tingkatan pendapatan yang sama. Kenaikan rating S&P mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia kuat.

Kenaikan rating utang tersebut diikuti dengan jumlah utang luar negeri Indonesia naik 8,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) per akhir April 2019 menjadi 389,3 miliar dolar AS atau setara Rp5.533 triliun dengan menggunakan perhitungan kurs tengah pada 30 April yakni Rp14.215 per dolar AS.

Menurut statistik yang diumumkan Bank Indonesia, di Jakarta, Senin (17/6), utang luar negeri (ULN) hingga bulan keempat itu terdiri atas utang pemerintah yang ditambah dengan bank sentral sebesar 189,7 miliar dolar AS dan utang swasta termasuk BUMN sebesar 199,6 miliar dolar AS. "ULN Indonesia secara keseluruhan tumbuh 8,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 7,9 persen (yoy)," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onnny Widjanarko.

Kenaikan ULN itu, menurut Bank Sentral, karena transaksi penarikan neto utang dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS. Jika melihat sektornya, kenaikan ULN lebih didominasi kenaikan utang swasta, karena ULN pemerintah tumbuh melambat.

Onny menuturkan ULN pemerintah pada April 2019 tercatat sebesar 186,7 miliar dolar AS atau tumbuh 3,4 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,6 persen (yoy). Penurunan ULN pemerintah ini karena pemerintah membayar pinjaman senilai 0,6 miliar dolar AS dan terjadi penurunan kepemilikan nonresiden (asing) di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 0,4 miliar dolar AS karena ketidakpastian di pasar keuangan global, imbas dari perang dagang.

ULN pemerintah banyak dialokasikan untuk pembiayaan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,8 persen dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,3 persen), sektor jasa pendidikan (15,8 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1 persen), dan serta sektor jasa keuangan dan asuransi (14,4 persen).

ULN swasta naik 14,5 persen (yoy) menjadi 199,6 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 13 persen (yoy). ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2 persen terhadap total ULN swasta.

BI menyebutkan struktur ULN Indonesia tetap sehat, yang terlihat dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April 2019 sebesar 36,5 persen atau relatif sama dengan rasio ULN pe PDB di Maret 2019. "Dengan perkembangan tersebut, meskipun ULN Indonesia mengalami peningkatan, namun masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat. Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN," ujar Bank Sentral.

Terkait dengan naiknya peringkat utang, dalam kesempatan sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai kenaikan peringkat utang oleh Standard & Poor's (S&P) adalah bukti kepercayaan lembaga pemeringkat internasional terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Melalui kenaikan peringkat, S&P meyakini Indonesia memiliki prospek ekonomi lebih baik di masa mendatang "Bahwa prospek ekonomi Indonesia jangka pendek dan jangka panjang itu akan baik," katanya.

Selain itu, lanjutnya, kenaikan rating oleh S&P adalah bukti kepercayaan terhadap kredibilitas kebijakan-kebijakan yang ditelurkan di Indonesia. Hal itu baik kebijakan fiskal dari sisi pemerintah, maupun kebijakan moneter dari bank sentral dan lembaga sektor keuangan lainnya. Menurut dia, S&P meyakini kebijakan itu dilahirkan melalui koordinasi yang baik dari seluruh pihak.

 

BERITA TERKAIT

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…