Deindustrialisasi Makin Nyata, Ekonomi Memburuk

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Ekonomi Indonesia 2019 semakin terpuruk. Neraca perdagangan selama empat bulan pertama 2019 anjlok dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Padahal, neraca perdagangan 2018 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia dengan defisit 8,57 miliar dolar AS. Tetapi, tahun 2019 sepertinya defisit neraca perdagangan akan lebih buruk lagi.

Bagaimana tidak. Ekspor selama empat bulan pertama 2019, secara berturut-turut, anjlok dibandingkan periode sama 2018. Ekspor Januari 2019 hanya 13,93 miliar dolar AS, turun 4,3 persen dibandingkan ekspor Januari 2018 yang sebesar 14,55 miliar dolar AS. Ekspor Februari 2019 malah anjlok 11,16 persen, yaitu ekspor Februari 2019 sebesar 12,56 miliar dolar AS sedangkan ekspor Februari 2018 14,13 miliar dolar AS. Ekspor Maret 2019 masih turun tajam dibandingkan Maret 2018, yaitu turun dari 15,59 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 14,12 miliar dolar AS pada Maret 2019, atau turun 9,4 persen. Dan ekspor April 2019 turun lebih parah lagi, yaitu turun 13,1 persen, dari 14,5 miliar dolar AS pada April 2018 menjadi 12,6 miliar dolar AS pada April 2019.

Dengan demikian, secara total, ekspor selama periode Januari – April 2019 hanya 53,2 miliar dolar AS, anjlok 5,52 miliar dolar AS atau 9,39 persen dibandingkan periode sama 2018 sebesar 58,72 miliar dolar AS. Tentu saja penurunan ekspor sebesar ini sangat memukul ekonomi Indonesia.

Meskipun impor juga turun untuk periode Januari-April 2019, tetapi penurunan impor lebih rendah dari penurunan ekspor. Impor hanya turun 7,48 persen, atau turun 4,35 miliar dolar AS. Dengan demikian, defisit neraca perdagangan tahun 2019 meningkat tajam, dari defisit 1,41 miliar dolar AS pada Januari-April 2018 menjadi defisit 2,56 miliar dolar AS pada Januari-April 2019. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, defisit neraca perdagangan pada bulan April 2019 merupakan rekor defisit terburuk sepanjang sejarah Republik ini dengan defisit 2,5 miliar dolar AS. Dan defisit ini disumbang oleh defisit non-migas 1 miliar dolar AS, yang juga merupakan defisit non-migas terburuk.

Selain itu, ekspor non-migas yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia juga turun tajam. Ekspor non-migas untuk periode Januari-April 2019 hanya 48,98 miliar dolar AS, dan untuk periode Januari-April 2018 sebesar 53,55 miliar dolar AS, atau turun 8,54 persen atau turun 4,57 miliar dolar AS. Meskipun impor non-migas juga turun tetapi penurunannya jauh lebih rendah dari ekspor, yaitu hanya 2,29 miliar dolar AS, atau turun 4,48 persen saja. Oleh karena itu, surplus perdagangan non-migas terkuras dari surplus 2,49 miliar dolar AS pada Januari-April 2019 menjadi hanya tinggal 204,8 juta dolar AS saja.

Penurunan ekspor selama empat bulan pertama 2019 ini, khususnya penurunan ekspor non-migas sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, mengindikasikan daya saing ekonomi Indonesia semakin melemah dan memburuk, sulit bersaing dengan produk negara-negara lain di pasar internasional.

Di lain sisi, penurunan impor juga terjadi untuk semua jenis golongan penggunaan barang. Impor Barang Konsumsi selama Januari- April 2019 turun 11,87 persen dibandingkan Januari-April 2018. Impor Bahan Baku / Penolong turun 7,08 persen dan impor Barang Modal turun 5,39 persen. Penurunan impor, khususnya Bahan Baku / Penolong dan Barang Modal menunjukkan aktivitas produksi dan investasi pada tahun 2019 jauh melambat dibandingkan dengan 2018.

Meningkatnya defisit neraca perdagangan pada empat bulan pertama 2019 ini membuat defisit transaksi berjalan juga meningkat. Dan hampir dapat dipastikan defisit transaksi berjalan ini akan melebihi tiga persen dari PDB, yaitu batas yang dianggap aman untuk defisit transaksi berjalan.

Oleh karena itu, dengan meningkatnya defisit transaksi berjalan maka ekonomi Indonesia dan nilai tukar rupiah tergantung dari aliran masuk modal asing untuk menutupi defisit tersebut, khususnya investasi portfolio. Dan, sementara ini, instrumen untuk investasi portfolio ini tergantung dari ketersediaan surat berharga pemerintah. Artinya, pemerintah harus menerbitkan surat utang dalam mata uang asing (dolar) agar dapat menutupi defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu, utang pemerintah naik cukup besar pada bulan Februari 2019 dibandingkan Desember 2018. Yaitu naik 7,64 miliar dolar AS hanya dalam dua bulan saja, dari 183,2 miliar dolar AS menjadi 190,84 miliar dolar AS.

Utang luar negeri ini tentunya akan menambah risiko krisis nilai tukar. Ketika pemerintah tidak dapat mencukupi penambahan utang luar negeri lagi, maka niliai tukar rupiah akan terdepresiasi. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…