Batasi Pembelian Valas, BI Picu Munculnya Aksi Spekulan - DEPOSITO VALAS DITIADAKAN?

Jakarta - Kebijakan Bank Indonesia (BI) membatasi transaksi valuta asing (valas) lewat Surat Edaran (SE) Nomor 14 Tahun 2012 yang mulai berlaku pada Maret tahun ini, dinilai bakal memicu aksi spekulasi valuta asing. Apalagi, regulasi ini bertentangan dengan kebijakan rezim devisa bebas di negeri ini.

NERACA

Bank Indonesia sendiri memberlakukan aturan ini untuk meredam adanya praktik pencucian uang dan penggunaan mata uang dolar AS sebagai alat korupsi.

Pengamat perbankan Farial Anwar menilai, Surat Edaran BI tersebut bukan hanya akan memicu timbulnya spekulan pembelian valas, tapi juga bakal mendorong nasabah melakukan pemalsuan dokumen.

“Kalau saya bilang, SE baru itu malah bisa meningkatkan pemalsuan dokumen dari masyarakat. Gampang saja membeli dokumen underlying (bukti pendukung pembelian). Sekarang yang menjadi fokusnya adalah tingkat prudensial dari perbankan. Seharusnya kalau BI berani, menekan perbankan untuk melakukan tingkat prudensial nasabah dengan standar BI. Misalnya, ada laporan ke BI sedetil mungkin tentang nasabah setiap hari. Jadi itu diberlakukan dengan intervensi jangan hanya aturan biasa,” ujar Farial saat dihubungi Neraca, Senin (26/3).

Farial menambahkan, saat ini sudah ada kendali langsung yang dilakukan perbankan dengan terjun ke bank-bank umum. Sayangnya, kontrol tersebut tidak secara kontinu dilakukan, tapi hanya pada kondisi-kondisi tertentu. “BI cuma mengirim orang-orang atau namanya supervisor untuk mengontrol perbankan saat krisis saja atau ada gejolak. Itukan bahaya, seharusnya kontinu dan proaktif,” tegasnya.

Sementara pengamat ekonomi Drajad Wibowo menandaskan, pembatasan pembelian valas bisa dipermasalahkan karena bertentangan dengan rezim devisa bebas yang dianut Indonesia.

Dalam rezim devisa bebas, imbuh Drajad, tidak boleh ada pembatasan dalam membatasi transaksi valuta asing (valas). “Bank Indonesia telah bertentangan dalam segi substansinya, mengacu dengan rezim devisa bebas dan seharusnya tidak ada pembatasan apapun dalam dunia perbankan,” ujarnya.

Drajat menegaskan bahwa BI seharusnya tetap berkomitmen terhadap kebijakan rezim devisa bebas. “Kita harus tetap committed kepada rezim devisa bebas,” terangnya.

Terkait peraturan dalam pembelian valas senilai di atas US$ 100 ribu setiap bulan yang meminta adanya dokumen seperti NPWP dan surat pernyataan. Drajad mengungkap, bakal terjadi kebocoran karena nasabah bisa memakai identitas orang lain. Bahkan, andaikata makin sulit untuk dilakukan, terbuka kemungkinan nasabah tersebut bekerjasama dengan pihak bank dan money changer.

Drajat juga mempertanyakan, apakah kebijakan tentang pembelian valas ini diberlakukan kepada perbankan dan tidak hanya kepada nasabah saja.

Apabila kebijakan berlaku untuk perbankan, sambungnya, maka akan mengganggu dunia usaha. “Jangan membatasi gerakan bank, beri keleluasaan kepada bank dalam menjalankan dunia perbankan, aturan ini hanya merendam timbulnya pencucian uang dan alat korupsi,” tegasnya.

Berbeda dengan Drajad Wibowo dan Farial Anwar, peneliti EC Think Telisa Aulia Falianty mengungkapkan, kebijakan BI tersebut akan mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tetap aman. “Rezim devisa kita kan devisa bebas, makanya kebijakan ini cukup positif, transaksi di atas US$100.000 harus disertai dengan underlying,” kata dia.

Dia beralasan, para spekulan selalu punya cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dengan adanya aturan tersebut, maka pergerakan para spekulan itu akan terbatas. Adanya persyaratan, membuat pembelian valas jelas peruntukkannya. “Dengan adanya syarat dokumen tersebut untuk menghindari spekulasi,” ungkapnya.

Hanya saja, Telisa menegaskan, dalam menerapkan kebijakan itu, BI harus terus bersinergi dengan kalangan perbankan, tentunya dengan membuat SOP agar semua bank mau menerapkan kebijakan itu, inilah yang menjadi kesulitan BI, kebijakan-kebijakannya tidak dituruti perbankan. “Nanti kan ada OJK yang mengawasi, memang saat ini posisi BI hanya pembuat kebijakan, mereka tidak bisa memberi sanksi, maka dari itu, BI harus terus bersinergi dengan perbankan, saya rasa kalau tujuannya jelas dan tidak merugikan kalangan perbankan mau menerapkan kebijakan itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, seharusnya kita bisa belajar dari negara lain yang berhasil mengamankan stabilitas nilai tukar mata uangnya, seperti negara Malaysia misalnya. Di sana, terdapat banyak syarat untuk segala transaksi, sehingga nilai tukar Ringgit mereka stabil. “Nah, Malaysia kan juga menerapkan kebijakan itu, dan mereka cukup berhasil,” cetusnya.

Untuk itu, dia meminta BI segera memulainya dari bank-bank BUMN terlebih dahulu, karena biasanya apa yang dilakukan bank-bank BUMN akan menular ke bank lainnya. Selain itu, karena milik pemerintah bank-bank BUMN cukup mudah diatur. “Kita coba dulu dari bank-bank BUMN, karena milik pemerintah, BI lebih mudah mengaturnya,” kata dia.

Langkah Strategis

Kepala Biro Humas BI Difi Ahmad Johansyah menuturkan, terbitnya SE No.14/11/DPM merupakan penyempurnaan atas SE BI No 10/42/DPD yang terbit pada November 2008 lalu mengenai pelaksanaan Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank akan menjadi salah satu instrumen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Jika nilai tukar rupiah stabil, papar Difi, otomatis akan turut menjangkar tingkat inflasi. Selain itu, SE No 14/11/DPM tersebut sebagai langkah strategis dalam meningkatkan dukungan bagi kegiatan ekonomi di sektor riil dan juga memperdalam pasar valas domestik.

“Jadi surat edaran ini tidak mengubah ketentuan BI mengenai pembelian Valas. Ini hanya sebagai perubahan aturan pelaksanaan dalam pembelian valas. SE itu juga instrumen untuk mengarahkan nilai rupiah ke asing agar stabil. Jadi kalau rupiah stabil, inflasi juga stabil. Kami mau menghindari upaya masyarakat yang rame-rame beli dolar kalau harganya murah nanti dijual pas momennya tepat. Itukan spekulan. Indikasinya karena simpanan valas meningkat sejak 2008,” urai Difi.

Difi menambahkan, aturan tambahan dalam SE No 14/11/DPM yakni mengharuskan surat pernyataan, NPWP dan dokumen underlying untuk pembelian valas di atas US$ 100 ribu per bulan. Sedangkan untuk pembelian valas di bawah US$ 100 ribu cukup dengan memberikan surat pernyataan dan diberlakukannya tanggal valuta (limit waktu 2 hari setelah transaksi). Selain itu, nasabah juga harus menyiapkan list of invoices (daftar faktur) asli.

“Aturan baru ini hanya membatasi pembelian di atas US$ 100 ribu per bulan dengan syarat tambahannya underlying. Ada relaksasi juga untuk batas waktu penyampaian persyaratan dokumen transaksi diatas US$ 100 ribu yang sebelumnya cuma tanggal transaksi (tanggal terjadi transaksi) sekarang tambahan tanggal valuta. Selain itu, sewaktu-waktu bank juga akan verifikasi list of invoices asli,” terangnya.

Difi mengakui, saat ini underlying penempatan pada simpanan dalam valas dengan nilai di atas US$100 ribu per bulan sudah dihapuskan. Saat ini ada enam jenis underlaying yang bergerak di sektor ekonomi diberlakukan. “Underlying simpanan valas sekarang tidak ada. Ada 6 underlying, yakni pembayaran jasa, pembayaran impor, pembayaran luar negeri, pembayaran travel agent, pembayaran pembelian aset luar negeri dan pembayaran hutang dalam valas. Penyempurnaan lainnya adalah penghapusan pengaturan mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah melalui ATM dalam rangka harmonisasi. Kita harap ini menjadi kebijakan yang membuat pembelian Valas menjadi transaksi ekonomi, bukan hanya sebagai spekulatif”, tegasnya.

Dari pantauan Difi, saat ini perbankan telah melakukan pelaporan kepada bank sentral setiap harinya dan ada sanksi bagi yang melanggar ketentuan SE No.14/11/DPM. “Selama ini tiap hari sudah ada laporan transaksi valas dari perbankan paling lambat diterima pukul 23.59 dalam Laporan Harian Bank Umum, yang melanggar sudah ada sanksi sesuai PBI,” jelasnya. ahmad/maya/mohar/kam

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…