Infrastruktur Buruk Kendala Utama Pembangunan - Gandeng Swasta Garap Tiga Proyek Insfrastruktur Rp1,89 Triliun

NERACA

Depok - Sektor infrastruktur memang masih menjadi salah satu kendala pertumbuhan perekonomian Indonesia. Tidak seimbangnya pembangunan antara wilayah Indonesia Barat dengan Timur, adalah bukti sektor ini tidak berjalan mulus.

Menurut Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, infrastruktur menjadi satu diantara 11 prioritas nasional pemerintah dalam kerangka kebijakan Koridor Ekonomi tahun ini.

Bambang menuturkan, pemerintah telah menyiapkan beberapa fasilitas pendukung, termasuk dana talangan, untuk mempercepat realisasi proyek infrastruktur hasil kerja sama pemerintah dan swasta (KPS).

Dalam tahun 2011, ada tiga proyek yang akan mendapat kucuran dana talangan sebesar Rp1,89 triliun. Fasilitas pendukung yang dimaksud adalah Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Penjamin Infrastrukur Indonesia (PT PII), dan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).

“Infrastruktur adalah syarat mutlak dari tingginya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, proyek ini membutuhkan anggaran sebesar US$143 miliar untuk periode 2011-2014. Pemerintah, melalui APBN, hanya mampu 35%-nya atau US$51 miliar. Selebihnya bisa melalui full private atau public private partnership (PPP),” ujarnya dalam Seminar Proyeksi Ekonomi 2011 di Fakultas Ekonomi UI Depok, Jawa Barat, Selasa (8/3).

Mantan Dekan FEUI ini mengatakan, alokasi dana tersebut untuk pengadaan tanah senilai Rp765,3 miliar dan dukungan mitigasi risiko eksplorasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar Rp1,13 triliun. Tiga proyek yang dimaksud Bambang yakni proyek jalan tol (Pasir Koja - Soreang, Pandaan - Malang, Serangan - Tanjung Benoa, Pekan Baru - Kandis - Dumai) senilai Rp315,3 miliar.

Kemudian, proyek kereta api Bandara Soetta - Manggarai sebesar Rp450 miliar. Diperkirakan masih membutuhkan sekitar Rp1,05 triliun yang akan dialokasikan di tahun anggaran berikutnya. Terakhir, eksplorasi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) senilai Rp1,13 triliun.

Anggaran ini dialokasikan untuk proyek pembangkit listrik geothermal di Wilayah Kerja Pertambangan Bora (Sulawesi Tengah), Suwawa (Gorontalo), Marana (Sulawesi Tengah), Waisano (Nusa Tenggara Timur), dan Mamuya (Maluku Utara).

Di tempat terpisah, Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pemerintah dinilai hanya mampu membuat masterplan infrastruktur, tapi pada kenyataannya tidak mampu merealisasikan hal tersebut. “Prediksi pertumbuhan ekonomi kita tahun ini 6,4%, tapi ini juga harus disokong realisasi infrastruktur, namun kenyataannya belum terwujud,” ungkapnya kepada Neraca di Jakarta baru-baru ini.

Dia menambahkan, Indonesia yang sedang menghadapi masalah buruknya infrastruktur, disebut-sebut tergolong negara yang paling rendah di kawasan Asean dalam belanja infrastruktur. “Jika China belanja infrastruktur bisa mencapai 10% dari gross domestic bruto (GDP), Vietnam delapan persen. Sementara Indonesia hanya dua persen. Idealnya belanja infrastruktur minimal lima persen,” tandasnya.

Out Of The Box

Sementara itu, Senior Country Economist Bank Pembangunan Asia (ADB) Indonesia Edimon Ginting mengingatkan, masalah konektivitas antarpulau dan antarwilayah harus menjadi prioritas pemerintah ke depan. Caranya dengan melakukan pembenahan internal terlebih dahulu sebelum bicara pertumbuhan.

Edimon mengaku sangat mendukung kebijakan memperkuat jaringan kerja sama antarnegara Asia Tenggara melalui Asean Economic Community, sehingga terjadi sebuah penguatan ekonomi kawasan. “Tapi, sebelum kita melangkah ke arah sana, perlu dibenahi dan diperkuat dulu yang di dalam negeri. Setelah itu, barulah ke tingkat regional,” katanya.

Dia juga menjelaskan, bahwa inflasi tinggi akibat dari faktor supply side, seperti harga sewa rumah yang tinggi namun pertumbuhan sektor agrikultur yang rendah. Kemudian terjadi gap antara supply dan demand. Hal inilah yang menyebabkan harga kebutuhan pangan berbeda di tiap daerah dan cenderung tinggi.

“Pemerintah harus fokus dan konsisten membenahi infrastruktur. Ini strategi jangka menengahnya. Jadi, konektivitas sangat penting disini. Karena kita mau main di level regional, maka dibenahi segera sektor ini. Kemudian lanjut ke reformasi birokrasi dan institusi serta kepastian hukum,” tambahnya.

Infrastruktur pastinya berkaitan erat dengan daya saing atau competitiveness. Edimon menekankan bahwa ada tiga faktor suatu negara dikatakan maju. Pertama, faktor kependudukan. Artinya, sumber daya manusianya harus berkualitas dan handal. Pendidikan menjadi hal yang mutlak dilakukan. Kedua, investasi, baik lokal maupun luar negeri. Terakhir, ide atau inovasi baru.

“Yang ketiga ini sangat sulit ditumbuhkan di negara kita. Karena harus thinking out of the box, sedangkan birokrat kita masih suka pakai paradigma lama. Tapi ini harus ditularkan kalau tidak sulit rasanya bicara daya saing dengan negara lain,” ujarnya.

Inflasi Dan Ketidaktegasan

Hal senada juga diungkapkan Senior Economist and Head of Government Relations Standard Chartered Fauzi Ichsan dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa. Menurut Fauzi, kalau infrastruktur yang buruk tersebut dikaitkan dengan luasnya kepulauan Indonesia yang membuat inflasi antardaerah bisa berbeda karena infrastruktur yang buruk. Dia lalu mencontohkan Papua yang inflasinya tinggi.

“Masalah inflasi di Indonesia lebih dikaitkan dengan infrastruktur yang parah. Apalagi Indonesia negara kepulauan. Infrastruktur jalan di Papua parah, makanya distribusi bermasalah dan memicu tingginya inflasi disana,” katanya kepada Neraca beberapa waktu lalu.

Kalau manufaktur Indonesia tidak bersaing dengan harga yang murah, imbuhnya, seharusnya bisa bersaing dengan infrastruktur yang memadai seperti jaminan pasokan listrik yang memadai, distribusi cepat serta kepastian hukum, sehingga perusahaan juga bisa melakukan ekspansi usaha.

Erwin pun mengeluhkan ketidaktegasan pemerintah dalam persaingan meningkatkan daya saing, khususnya peningkatan infrastruktur di Indonesia . Pasalnya, saat ini pengusaha Indonesia sudah frustasi karena buruknya infrastruktur. Menurut CEO Bosowa Corporation ini, Indonesia membutuhkan dana Rp1.900 triliun untuk lima tahun kedepan dari APBN untuk pengembangan infrastruktur.

“Anggaran yang sekarang sekitar Rp50 triliun. Jika dikalikan lima tahun, maka dana pembangunan infrastruktur sebesar Rp250 triliun. Masih jauh dari harapan,” katanya. Contoh lain yang dia sampaikan adalah pembangunan jalan tol TransJawa. Dari sekian banyak proyek pada penerapannya hanya satu atau dua proyek saja yang bisa diimplementasikan. Pemicunya masalah pembebasan lahan dan ketidakpastian investasi dari pemerintah.

Berdasarkan laporan Hipmi, proyek mercusuar infrastruktur yang mengalami kelambatan antara lain pembangunan Jembatan Selat Sunda yang menelan biaya Rp150 triliun, jalan tol TransJawa sebesar Rp93,4 triliun, bandar udara seperti Kuala Namu di Deli Serdang, Sumatera Utara dan Muara Bungo di Jambi sebesar Rp1,9 triliun, dan mass rapid transit (MRT) Rp16 triliun.

Kemudian, jika dibanding beberapa negara di Asia, Indonesia hanya memiliki panjang jalan tol sepanjang 693 kilometer. Malaysia saja panjangnya mencapai 1.230 kilometer dan China bahkan 35 kali lipatnya negeri Jiran tersebut, atau 46 ribu kilometer.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…