Seimbangkan Kepentingan Produsen dan Konsumen Pangan

 

NERACA

Jakarta – Pemerintah perlu untuk lebih menyeimbangkan kepentingan antara pihak produsen dan konsumen pangan terutama dengan manajemen stok pangan nasional yang tepat dan memadai.

"Pangan di Indonesia punya setidaknya dua pilar, yaitu kesejahteraan produsen dan kesejahteraan konsumen," kata Pembina Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Saidah Sakwan dalam diskusi pangan di Jakarta, sebagaimana disalin dari Antara.

Menurut Saidah Sakwan, hal terpenting dalam manajemen stok pangan nasional adalah menyeimbangkan antara kedua sisi hulu dan hilir ini. Ia menilai seringkali intervensi kebijakan pangan menghasilkan solusi yang kurang tepat.

Saidah yang juga merupakan mantan Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu mengungkapkan sejumlah komoditas seperti bawang putih harus memiliki kebijakan yang tepat, karena sebenarnya produksi Indonesia hanya bisa memenuhi sekitar empat persen dari kebutuhan setiap tahunnya.

Sebagai Komisioner KPPU, ia mengaku pernah menemukan kasus kartel bawang putih, di mana berbagai importir yang ada sebenarnya terkonsentrasi pada sekitar lima pemilik yang ternyata memiliki hubungan keluarga. "Hal-hal ini yang harus diselesaikan oleh pemerintah," ucapnya.

Sebelumnya, Peneliti CIPS Muhammad Diheim Biru menyatakan bahwa fenomena tingkat harga pangan yang mahal di tengah masyarakat merupakan indikasi dari adanya kesenjangan antara produksi pangan dengan pemenuhan pangan warga.

"Indikator harga mahal pada daging, gula, dan beras menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara produksi pangan domestik dengan pemenuhan kebutuhan di pasar," kata Muhammad Diheim Biru.

Menurut dia, kalau kebijakan pangan terus dibatasi serta tidak dilakukan upaya untuk menyederhanakan rantai distribusi dan masih adanya pembatasan peran swasta di pasar, maka harga pangan kemungkinan akan tetap tinggi karena kesenjangan tadi.

Sementara itu, ujar dia, pembenahan untuk sektor perdagangan juga penting, antara lain karena untuk bidang pangan, rantai komoditas konsumsi rakyat di Indonesia masih cenderung lebih banyak dikendalikan oleh BUMN.

Ia berpendapat bahwa selama ini, peran swasta di pasar domestik masih dibatasi oleh kebijakan kementerian-kementerian terkait. Harga komoditas yang merupakan bahan pangan utama seperti beras, gula, dan daging, masih terlampau mahal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan India. Diheim menambahkan untuk menutupi kesenjangan tersebut perlu adanya pertimbangan untuk melibatkan swasta dalam melakukan perdagangan komoditas pangan.

CIPS menyebutkan bahwa kebijakan yang terkait dengan sektor pangan nasional sebenarnya bukan hanya soal swasembada, tetapi juga harus diperhatikan aspek yang lainnya seperti perdagangan pangan global. "Pangan itu sendiri tidak hanya soal produksi tetapi juga ada unsur perdagangannya," kata Kepala Departemen Ekonomi CIPS Yose Rizal Damuri.

Menurut dia, pada saat ini kebijakan pangan kerap direduksi hanya kepada kebijakan swasembada, yang kemudian direduksi kembali menjadi kebijakan yang seolah-olah tidak boleh melakukan impor.

Ia mengingatkan bahwa bila membicarakan permasalahan pangan sebaiknya jangan hanya berbicara dari segi produksinya, tetapi juga harus bicara mengenai masalah ketersediaan dan aksesibilitasnya. "Ini yang sering tidak tercakup dalam kebijakan pangan nasional sehingga perlunya perubahan terhadap pandangan ini," ucapnya.

Sementara itu, peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman mengungkapkan, berdasarkan pengamatannya di setiap pemilu, pasti kampanye yang akan muncul adalah terkait dengan program swasembada pangan. "Padahal tidak mesti swasembada menjadi solusi dari setiap persoalan pangan," kata Ilman.

Ilman mengingatkan akan sangat disayangkan bila swasembada juga tidak membuat pangan menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat prasejahtera. Ia juga menekankan pentingnya akurasi data pangan dan agar kepala negara yang ada bisa mengkondusifkan kepentingan antarlembaga dalam hal pangan.

Assyifa Szami Ilman mengingatkan bahwa data akurat dari produksi jagung di dalam negeri merupakan hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di berbagai daerah. "Jika data pangan tidak dapat diandalkan, dikhawatirkan Indonesia impor pangan terlalu banyak atau terlalu sedikit," kata Assyifa Szami Ilman.

Ilman mengingatkan bahwa jagung berperan penting untuk biaya produksi industri peternakan unggas karena perannya sebagai pakan.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…