Impor Beras Atau Tidak, Gunakan Indikator Harga

NERACA

Jakarta – Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru mengatakan, pemerintah sebaiknya menggunakan harga sebagai indikator perlu atau tidaknya melakukan impor beras. Bila harga tinggi, maka ketersediaan beras di pasaran berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian impor bisa dijadikan pilihan untuk mengisi kekurangan pasokan dan menstabilkan harga.

Namun, kalau pergerakan harga dianggap tidak cukup membuktikan adanya kelangkaan pasokan beras. Ia pun menyarankan pemerintah untuk menggunakan teknologi untuk memantau hasil produksi beras. Penggunaan teknologi, lanjutnya, bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik antar instansi pemerintah yang seringkali memiliki data komoditas pangan yang berbeda satu sama lain. Padahal data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan dibutuhkan untuk menjadi dasar pengambilan sebuah kebijakan.

“Kita lihat saja yang paling sederhana dari harga. Bila harga tinggi, berarti ketersediaan langka, maka lakukan impor. Namun, bila indikator harga masih belum bisa dipercaya, ya gunakan satelit. Kan katanya mau ada pantau beras pakai satelit. Nah itu saja realisasi jadi data itu tidak beda-beda terus jadi ribut. Konflik akibat perbedaan data antara satu instansi dengan instansi lain seharusnya tidak terjadi lagi di masa mendatang,” ungkapnya disalin dari siaran resmi.

Sementara itu peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman menambahkan, pemerintah perlu melakukan perbaikan data pangan untuk mengurangi kesemrawutan impor. Perbaikan data pangan juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait impor beberapa waktu yang lalu.

Kegiatan impor yang belum efektif sebenarnya didasarkan pada acuan data yang dijadikan dasar untuk melakukan impor. Sehingga jika data acuan tidak dapat diandalkan, hasilnya adalah kebijakan yang tidak efektif. Permasalahan yang seringkali dihadapi Indonesia adalah data pangan yang selama ini selalu dijadikan acuan untuk melakukan impor belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Perbaikan data komoditas baru dilakukan pada komoditas beras, itupun baru pada akhir Oktober 2018 lalu. Sedangkan data-data komoditas lain seperti jagung dan kedelai dapat dikatakan belum terintegrasi menjadi data tunggal yang dapat diandalkan pemerintah dan publik.

Sebelumnya, Assyifa Szami Ilman mengatakan, dapat dikatakan hampir seluruh kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang bertarung dari pemilihan umum 2004 hingga saat ini selalu konsisten menjanjikan swasembada pangan. Padahal secara garis besar dapat dikatakan hingga 15 tahun kemudian, belum ada satupun presiden dan calon wakil presiden berhasil mewujudkan swasembada pangan.

Hal ini dapat dilihat bahwa pasti ada saja komoditas yang diimpor tiap tahunnya. Hal ini menandakan kegagalan rezim untuk mencapai swasembada itu sendiri. Selama ini, swasembada pangan didefinisikan sebagai usaha mencukupi kebutuhan pangan sendiri (KBBI). Apabila mengambil beras saja sebagai contoh, tercatat sepanjang 2000-2018 Indonesia selalu mengimpor beras dengan rata-rata impor berkisar 1,4 juta ton per tahunnya.

Berkaca dari hal tersebut, swasembada pangan dapat dikatakan semakin menjadi agenda  yang semakin hari semakin sulit untuk dieksekusi. Kebijakan menahan impor pun akan berisiko meningkatkan harga pangan. Ada beberapa hal yang menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya swasembada pangan dicapai. Yang pertama adalah data yang akurat. Data menjadi kunci untuk menyatakan keberhasilan suatu program swasembada. Apabila produksi pangan melebihi konsumsi, tentunya impor tidak perlu dilakukan dan pada akhirnya swasembada pangan tercapai.

Namun kondisi tersebut akan menjadi jauh lebih rumit apabila selama ini terjadi kesimpangsiuran dalam data yang menjadi acuan, seperti yang terjadi pada saat ini. Data Kementerian Pertanian untuk produksi beras selalu dikritik karena angkanya yang overestimate hampir 30% dari jumlah yang dianggap lebih realistis keluaran Badan Pusat Statistik (BPS).

Hingga akhir Oktober 2018, belum ada kesepakatan mengenai data yang digunakan untuk menyatakan status swasembada pangan. Pada hari ini, baru data beras hasil olahan BPS saja yang dinyatakan telah diperbaiki dan disepakati menjadi acuan. Sedangkan data puluhan komoditas lainnya yang dirilis Kementerian Pertanian bisa jadi juga memiliki problematika yang sama.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…