Bayang-bayang Tripel Defisit

Tekad pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi pada 2020 antara 5,3% hingga 5,6% ternyata tidak mudah, karena masih harus berhadapan dengan ancaman tripel defisit. Akibatnya Pemerintahan Jokowi harus membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 lewat utang lagi.

Tak bisa dipungkiri, siapapun yang akan memimpin Indonesia 2019-2024 akan menghadapi tantangan besar. Mengingat pembiayaan APBN pada 2020 masih bertumpu pada utang, sehingga hasil ekspor dan investasi tak lagi mampu mengejar tripel defisit yang tak terbendung.

Trio defisit: defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan dan defisit APBN per Maret 2019 belum menunjukkan bahwa Indonesia pada 2020 akan membukukan surplus. Pada kuartal I-2019 defisit perdagangan masih tercatat sebesar US$193 juta, defisit transaksi berjalan US$9,1 miliar dan defisit APBN pada periode yang sama sudah menembus Rp102 triliun.

Hingga Februari 2019, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp4.567 triliun dengan cicilan bunga utang sampai Maret 2019 sebesar Rp70,6 triliun. Menurut mantan menko perekonomian Rizal Ramli, belum ada strategi dan blue print yang jelas untuk mengurangi tripel defisit. Sehingga gembar-gembor “dongeng keberhasilan ekonomi” selama ini benar-benar berhasil menghipnotis rakyat Indonesia.

Seperti diketahui, dengan terbatasnya kapasitas anggaran, pemerintah belum lama ini mengajukan pinjaman bantuan darurat kepada Asian Development Bank (ADB) sebesar US$297,91 juta untuk merehabilitasi dan merekonstruksi Provinsi Sulawesi Tengah pasca gempa tahun lalu. Pinjaman berjenis Emergency Assistance Loan for Rehabilitation and Reconstruction (EARR) dibagi ke dalam dua proyek yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Perhubungan dengan total pinjaman senilai US$297,91 juta. Kemudian pinjaman sebesar US$188,16 juta diajukan untuk membiayai rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur sosial dan sumber daya air di Sulteng.

Sementara itu, Kementerian Keuangan mengakui kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN), terutama Surat Berharga Negara (SBN) dinilai berisiko tinggi bagi Indonesia. Hal tersebut membuat pasar keuangan menjadi rapuh jika terdapat sentimen eksternal yang mendorong arus modal keluar (capital outflow) secara tiba-tiba tak terduga waktunya.

Memang sejatinya kepemilikan asing di SBN ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, kepemilikan SBN oleh asing merupakan indikasi bahwa obligasi negara menarik bagi investor asing.
Arus modal asing ke SBN juga berpengaruh positif bagi neraca transaksi modal dan finansial sehingga berdampak baik bagi neraca pembayaran.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per 2 Mei 2019, capital inflow ke SBN tercatat Rp66,3 triliun dan berkontribusi 50,15% terhadap inflow Rp132,4 triliun.
Namun, di sisi lain, kepemilikan asing di SBN justru menimbulkan risiko besar. SBN bisa mudah dilepas investor kapan saja, jika kondisi ekonomi sedang tak menentu.

Menurut data Kemenkeu per 29 April 2019, total kepemilikan asing di SBN yang bisa diperdagangkan sebesar Rp962,57 triliun, atau 38,44% dari total SBN yang bisa diperdagangkan. Nilai perdagangan ini  sejatinya sudah lebih baik dibandingkan 2013, di mana kepemilikan asing di SBN mencapai 41% saat Amerika Serikat melakukan kebijakan quantitative easing. Namun kepemilikan asing ini masih lebih besar, sehingga pemerintah harus melakukan pendalaman pasar keuangan agar komposisi investor SBN domestik meningkat. Meski demikian, bukan berarti pemerintah akan sengaja mengurangi kepemilikan asing di SBN.

Jelas, tidak ada strategi pemerintah untuk membatasi kepemilikan asing, yang ada malah menambah ukuran investor domestik sehingga nanti secara langsung porsi domestik akan bertambah. Karena itu, salah satu cara pendalaman pasar domestik adalah dengan gencar menerbitkan SBN ritel secara daring di tahun ini.

Yang patut diperhatikan ke depan, pendalaman pasar keuangan, khususnya lewat SUN Ritel seharusnya menerapkan formula khusus yang dapat mengurangi utang sambil menggenjot pertumbuhan ekonomi, sehingga pada gilirannya pertumbuhan dapat dipacu lebih tinggi lagi dari kisaran 5% saat ini.

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…