Menhut Didesak DPR Segara Laksanakan Putusan MK

NERACA

Jakarta – Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan didesak kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 sejak ditetapkan pada 21 Februari 2012 dengan menjalankan semua tahapan dalam pasal 15 ayat (1) UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

Desakan ini terkait permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan lima bupati di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) telah dikabulkan MK.

“Keputusan tersebut sudah inkract (berkekuatan hukum tetap). Jadi pemerintah harus konsisten dengan melaksanakan keputusan tersebut. Jangan ditunda-tunda lagi,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo di Jakarta, Rabu (21/3).

Menurut Firman, Menhut atau Kementerian Kehutanan harus menghormati keputusan MK tersebut. Sebab MK merupakan lembaga negara yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

“Karena itu, kita wajib melaksanakan apa yang menjadi keputusan MK. Karena keputusan MK bersifat final. Kita tidak bisa melakukan debat lagi terhadap apapun yang menjadi keputusan MK tersebut. Yang bisa kita lakukan adalah melaksanakan keputusan tersebut,” kata Firman.

Bahkan, Firman mengatakan bahwa Pasal 1 angka 3 UU No 41 Tahun 1999 tersebut perlu direvisi. Karena pada dasarkan pasal tersebut kontradiksi dengan UU lain yang menaungi tata ruang. Dia menyebutkan, paling tidak ada tiga UU yang saling kotradiksi. Ketiga UU tersebut adalah No 41/1999, UU No 32 tentang Otonomi Daerah (Otoda), dan UU No 24/1992 tentang Tata Ruang.

Adanya disharmoni di antara ketiga UU tersebut, kata Firman, mengakibatkan penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) menjadi molor.“Untuk itu, harmonisasi harus dilakukan antar aturan ini,” kata Firman.

Dia mengakui disharmoni aturan itu juga terjadi antara pusat dan daerah sehingga memperlambat penyelesaian RTRWP yang seharusnya sudah selesai sejak tahun lalu. “Semua mengutamakan kepentingan masing-masing,” katanya.

Seperti diketahui, permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan ini diajukan beberapa bupati dan seorang pengusaha di Kalimantan Tengah. Mereka adalah M. Mawardi (Bupati Kapuas), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas), Duwel Rawing (Bupati Katingan), Zain Alkim (Bupati Barito Timur), Ahmad Dirman (Bupati Sukarama), dan Akhmad Taufik (pengusaha). Mereka meminta MK mencabut frase “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 Angka 3.

MK menilai penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahapan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan.

Petrus Gunarso, Chief Forester Tropenbos International Indonesia, mengungkapkan putusan MK tersebut harus dimanfaatkan untuk melakukan pembenahan sektor kehutanan. Dengan demikian, segala konflik bisa dituntaskan dan pada gilirannya memberikan manfaat sebesarnya-besarnya bagi masyarakat.

“Ini momentum untuk menata kawasan hutan secara berjenjang, dari tingkat rakyat atau daerah sampai ke pusat. Putusan MK itu sangat relevan untuk mengatasi konflik di daerah dan konflik sosial yang muncul soal kawasan hutan,” ujarnya.

Sebelumnya, Sadino, ahli hukum kehutanan, menjelaskan salah satu persoalan dalam pengukuhan kawasan hutan adalah prosesnya yang melibatkan pemerintah daerah. Sementara Kemenhut kini tak bisa ‘main’ perintah seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah.

Namun, sambungnya, kepala daerah yang enggan untuk mempercepat proses pengukuhan. Sebab dengan kawasan hutan yang belum pasti, mereka diuntungkan karena bisa melansir izin di setiap sudut wilayah pemerintahannya.

“Di sini kepemimpinan presiden diperlukan agar kepala daerah tidak mengeluarkan izin sampai ada kepastian kawasan hutan seiring dengan percepatan pengukuhan kawasan hutan,” ujar Sadino.

Untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan, Sadino menyarankan agar tata batas di areal konsesi pengusahaan hutan (izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu atau HPH) diakui dan ditetapkan sebagai kawasan hutan.

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…