Redistribusi Lahan Pelepasan Kawasan Hutan Terhambat Berbagai Kendala

NERACA

Jakarta – Realisasi program redistribusi lahan pelepasan kawasan hutan (lahan HGU yang sudah habis masanya, tanah terlantar dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat) sulit capai target. Dari target seluas 4,1 juta hektar yang dicanangkan pemerintah, penerbitan sertifikat atas lahan ini baru mencapai lahan seluas 0,15 juta hektar. Program ini dihadapkan pada beberapa kendala yang masih terjadi di lapangan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi adalah lambatnya proses verifikasi. Proses verifikasi berjalan relatif lambat karena adanya ketidakharmonisan antara regulasi daerah dengan regulasi pusat. Secara umum, reforma agraria seharusnya tidak dipersulit dengan berbagai proses verifikasi yang menghabiskan banyak waktu sehingga menghambat konsolidasi dan redistribusi tanah kepada masyarakat tani yang membutuhkan. Regulasi yang menghambat ini disebabkan karena perlunya banyak persetujuan secara prosedural antara pemerintahan daerah dengan pusat, yang seharusnya perlu dibenahi di tiap provinsi untuk mempercepat proses.

Diheim menambahkan, Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional menyatakan harus adanya penyempurnaan sistem hukum pertanahan melalui inventarisasi perundang-undangan pertanahan. Penyempurnaan sistem hukum pertanahan dilakukan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat,

Penyempurnaan sistem ini, lanjut Diheim, seharusnya sudah dilakukan sebelum implementasi suatu program dimulai. Ini harus diutamakan dalam perencanaan ke depan karena data luas lahan bisa saja belum diperbaharui, data luas lahan bisa saja berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan dan status penggunaan lahan bisa sewaktu-waktu berubah sebelum dinventarisasi dan dilegalisasi.

“Kalau perubahan status lahan itu disebabkan oleh deforestasi ilegal yang tidak terpantau, maka dapat menyebabkan peningkatan emisi karbon yang menimbulkan kerugian ekologis secara ekonomi dan sosial, dimana Indonesia sendiri termasuk dua puluh negara pengemisi karbon terbesar di dunia karena deforestasi dan pembukaan lahan,” tandasnya, disalin dari siaran resmi.

Kendala selanjutnya adalah lamanya proses inventarisasi. Inventarisasi lahan juga membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Proses pemasangan patok bataspun harus benar-benar teliti sesuai di peta. Target yang belum tercapai di tahun 2019 untuk pelepasan kawasan hutan ini disebabkan oleh batas yang belum selesai dipatok di lapangan. Lamanya proses ini akan berdampak pada penundaan legalisasi kawasan yang akan dilepas termasuk penerbitan sertifikat.

Lama proses inventarisasi lahan bisa saja disebabkan oleh belum maksimalnya koordinasi dan perencanaan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data yang dikelola pemerintah daerah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai status kepemilikan lahan, batasan lahan, dan pengalokasian penduduk ke lahan yang baru seharusnya bisa selaras dan akurat dengan pengawasan yang terbuka setiap hari. Pengawasan ini bisa didukung dengan sistem database yang terbuka dan selalu aktif untuk mengabari perubahan data kepada masyarakat, sesuai dengan prinsip keadilan dan keterbukaan.

Sebelumnya, diwartakan, pemerintah akhirnya menerbitkan Surat Perizinan Impor (SPI) untuk bawang putih sebesar 100 ribu ton kepada tujuh perusahaan swasta pada 18 April yang lalu. Langkah ini patut diapresiasi karena merupakan alternatif dari opsi lain yang sebelumnya sempat disebutkan, yaitu penugasan impor kepada Bulog.

Namun, momen penerbitan izin impor yang relatif sangat dekat dengan bulan puasa ini dikhawatirkan tidak akan efektif menurunkan harga komoditas tersebut pada bulan puasa nanti. Peneliti CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, pemerintah perlu mendorong para importir dalam melakukan importasi bawang putih agar komoditas dapat sampai sebelum bulan Ramadhan tiba. Proses impor yang relatif panjang dikhawatirkan dapat menyebabkan bawang putih yang diimpor tidak bisa sampai di Indonesia tepat waktu.

"Apabila terdapat pasokan yang cukup, ditambah dengan usaha pemerintah untuk mengajak importir untuk juga melakukan operasi pasar, harapannya harga tidak akan bergejolak saat Ramadhan tiba. Bulan Ramadhan identik dengan kenaikan inflasi yang terjadi karena meningkatkan permintaan,” jelas Ilman.

 

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…