Mengintip Potensi Pajak bagi Youtubers

Oleh: Endah Sitarasmi, Staf Kantor Pusat Ditjen Pajak *)

Seiring dengan perkembangan teknologi masa kini, dimana gadget menjadi kebutuhan utama generasi millenial, pertumbuhan pengguna media sosial semakin pesat. Survey “We Are Social” menyatakan bahwa 150 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial.  Masing-masing orang memiliki 11 akun media sosial dengan waktu berselancar rata-rata 3 jam per hari. Per bulan Maret 2019, youtube menduduki peringkat pertama platform yang paling sering digunakan, disusul oleh Whatsapp, Facebook, Instagram, Line, Twitter, Facebook Messenger, Blackberry Messanger dan Linkedln.

Youtube sebagai salah satu jenis  Social Media Influencer, ternyata memberikan penghasilan yang cukup besar, dan terus bertumbuh. Jenis-jenis penghasilan yang diterima youtubers antara lain:

-Iklan.Pop-Up. Youtube memberikan uang kepada pengisi konten dengan meletakkan pop-up iklan pada awal, tengah, dan akhir video, tergantung berapa lama durasi video tersebut. Iklan pop-up ini biasanya hanya diletakkan pada video populer atau video dari akun youtube populer.

-Endorsement. Para produsen membayar para artis untuk mengenakan barang produksi mereka.

-Patreon. Penggemar melakukan pembayaran bulanan untuk bisa melihat video eksklusif yang tidak ditayangkan di youtube biasa.

-Google Adsence. Youtube menayangkan banner pada video yang ditonton penggemar.

Meskipun perolehan hasil tersebut berpatokan pada tarif yang berlaku di Amerika Serikat, sedangkan sesungguhnya tarif untuk tiap negara berbeda, tapi cukup memberikan gambaran bahwa jumlah uang yang berputar pada platform ini cukup besar.

Menurut pendapat penulis, pengenaan pajak youtubers ini sebenarnya tidak berbeda dengan Wajib Pajak (WP) lain, tunduk pada Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku.

Perlakuan pajak untuk youtubers ini sama dengan artis yang melakukan pekerjaan sejenis, di media televisi, radio, koran/majalah, yang selama ini penghasilannya langsung dipotong pajak oleh pemberi penghasilan, kemudian mereka akan melaporkan pajak tersebut pada SPT Tahunan, tentu saja dilakukan perhitungan dan pembayaran terlebih dahulu jika ada pajak yang kurang dibayar. Undang-Undang Perpajakan menganut sistem self assessment, yaitu menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak terutang secara mandiri.

Youtubers yang mendapatkan penghasilan diatas threshold PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kemudian melakukan kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Lampiran I angka 1341-1346 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kegiatan youtubers ini masuk dalam kategori kegiatan hiburan, seni dan kreativitas lainnya, dengan norma penghitungan penghasilan neto sebesar 35%.

Sebagai contoh seorang youtuber mendapatkan penghasilan sebesar Rp200 juta setahun, dengan status belum menikah. Maka pajak yang terutang adalah:

5% x ((Rp200.000.000,-x35%)-54.000.000) = Rp800.000,-

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku otoritas yang berwenang menghimpun penerimaan pajak ,diharapkan melakukan lebih banyak lagi edukasi kepada para youtubers yang rata-rata adalah generasi milenial masa kini. Mereka belum melakukan kewajiban perpajakan dengan baik bisa jadi bukan karena enggan menyisihkan penghasilan untuk membayar pajak, tapi karena ketidaktahuan mereka akan ketentuan perpajakan yang berlaku. Mereka harus didorong untuk tak hanya menjadi panutan bagi penggemar di dunia maya melalui konten yang positif, tetapi juga harus memberikan keteladanan sebagai warga negara yang baik dengan membayar pajak.

DJP menghadapi tantangan yang cukup berat untuk melakukan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan para youtubers ini. Youtube sebagai pihak pemberi penghasilan adalah entitas luar negeri yang tidak tersentuh oleh ketentuan Undang-Undang Pajak Indonesia, sehingga tidak dapat dilakukan crosscheck data penghasilan yang diberikan dengan yang dilaporkan oleh youtubers. Kendala ini seharusnya ke depan harus dicari solusinya, salah satunya dengan menggunakan Exchange of Information (EOI) antara DJP dengan otoritas pajak dimana platform tersebut berada.

Selain itu, belum adanya single identity number (SIN) untuk seluruh penduduk Indonesia, mengakibatkan data penduduk tidak terintegrasi. Sulit melakukan sinkronisasi data para youtubers dengan data NIK (Nomor Induk Kependudukan), apalagi dengan NPWP. Banyak youtubers yang belum melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan ada pula yang belum memiliki NPWP.

Pembukaan data perbankan juga dapat membantu DJP untuk memverifikasi kebenaran pelaporan pajak. Penghasilan para youtuber tersebut tentu melalui transfer rekening bank bukan? Data tersebut dapat ditelusuri, kemudian dilakukan himbauan kepada yang bersangkutan agar segera memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar.

Jika kita bandingkan dengan negara tetangga (Singapura), otoritas pajak mereka yaitu Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) telah mengatur secara khusus tentang pajak penghasilan terhadap kegiatan blogging, advertising, serta kegiatan lain yang dilakukan melalui platform media sosial. Setiap warga negara Singapura yang mendapatkan penghasilan non monetary benefit (contoh: endorsement) lebih besar dari US$100, maka wajib melaporkannya sebagai penghasilan. Jika non monetary benefit tersebut berupa barang yang sekali pakai, makanan misalnya, maka tidak wajib dilaporkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.

Berbeda dengan IRAS, Internal Revenue Services (IRS) sebagai otoritas pajak Amerika Serikat menetapkan jika seorang warga negara mendapatkan penghasilan dari penayangan video youtube, baik dari iklan ataupun penghasilan lain sehubungan dengan video tersebut, lebih besar dari US$600 dalam setahun, maka akan langsung mendapatkan formulir “1099-Misc”, yaitu bukti rincian penghasilan selama setahun. Formulir ini selain diberikan kepada youtuber, juga langsung dilaporkan kepada IRS oleh youtube. Youtubers wajib melaporkan pajak terutang dari penghasilan tersebut, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible expenses) yaitu: Penyusutan peralatan seperti kamera dan perlengkapannya, advertising, keperluan kantor seperti kertas, pensil, penggunaan gadget, biaya konsultan, biaya transportasi, conference fee, video editing software, dan data storage.

Jika beberapa negara lain sudah selangkah di depan dalam hal penegasan pengenaan pajak, maka kita tunggu gebrakan pemerintah pasca pemilu 2019 ini. Siapapun presiden terpilih, semoga pengenaan pajak kepada para youtubers ini menjadi perhatian, demi rasa keadilan terhadap semua penyedia konten kreatif di Indonesia. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…