Petani Karet Tolak Rencana Pemberlakuan Bea Ekspor

NERACA

Jakarta - Kendati pemberlakuan bea keluar (BK) ekspor karet sebesar 10% baru sebatas wacana yang dilontarkan pemerintah, Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo) sudah bergerilya ke daerah untuk melakukan konsolidasi guna menolak kebijakan itu. Alasannya, Aprikando menilai kebijakan ini bakal merugikan petani karet sehingga mereka tak mau kecolongan dengan pemberlakuan kebijakan tersebut.

Ketua Umum Apkarindo Lukman Zakaria memaparkan selama bulan Maret ini saja, pihaknya telah bertemu dengan petani karet di Sumatera Selatan, Jambi, dan Medan. "Kami terus melakukan aksi penolakan dengan memberi pemahaman langsung ke pengurus daerah dan petani," kata Lukman di Jakarta, Rabu (21/3).

Menurut dia, wacana BK untuk ekspor karet sebesar 10% bisa merugikan petani. Sebab, beban pembayaran BK kepada negara akan memangkas harga karet di tingkat petani. Lukman mencontohkan, jika BK karet berlaku, harga karet dari petani semula Rp 15.000 per kilogram (kg) akan turun menjadi Rp 5.000 per kg sampai Rp 7.000 per kg.

Padahal, kata Lukman, dari 3,4 juta hektare (ha) perkebunan karet di Indonesia, sebesar 3,4 juta ha dikelola langsung oleh masyarakat. Sisanya baru dikelola oleh perusahaan besar dan juga perusahaan milik pemerintah. Karena itu, saat ini, Apkarindo akan berusaha menggalang aksi penolakan terhadap penerapan BK untuk ekspor karet. Jika aturan tetap dilakukan, Lukman mengaku sudah mendapat dukungan dari petani untuk menggelar aksi demonstrasi besar-besaran.

Petani Kena Dampak

Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane. Aziz mengatakan penetapan bea keluar terhadap karet tidak akan membangkitkan industri hilir. “Ketika bea keluar karet dipaksakan, yang akan terkena dampak itu adalah petani karena eksportir atau pedagang tidak ingin rugi. Sementara itu di sisi lain, penetapan bea keluar juga sulit untuk menghidupkan industri hilir,” jelasnya.

Sementara itu, Staf Ahli Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Suharto Honggokusumo mengatakan pengenaan bea keluar tidak serta merta membuat eksportir bisa meningkatkan harga jual karet. “Harga karet tidak mungkin dinaikkan karena harga itu berdasarkan internasioanal, lalu dampaknya akan menekan harga ditingkat petani. Implikasinya, petani jadi melarat, penyelundupan semakin merajalela,” paparnya.

Suharto juga menuturkan produk berbasis karet membutuhkan bahan penolong lainnya, tidak hanya karet saja. “Kalau penyerapan di dalam negeri rendah, dan ekspor dibatasi, karet yang sebagian besar dihasilkan petani itu mau dikemanakan?” tanyanya.

Sebelumnya, lanjut Suharto, Menteri Perindustrian MS Hidayat telah menyampaikan usulan pengenaan bea keluar terhadap karet pada 23-24 Desember. Menurut dia, rencana mengenakan bea keluar terhadap karet kental karena pemerintah merasa berhasil menerapkan strategi tersebut ke kakao. “Karet berbeda dengan kakao yang sudah dikenakan bea keluar. Barang jadi karet memerlukan bahan penolong dalam kadar yang tinggi. Di dalam ban, kandungan karet 40%-60%, sementara kakao jadi coklat,” jelas Suharto.

Karena itu, Dekarindo juga memprakarsai penolakan BK atas karet yang direncanakan tahun ini dengan alasan menurunkan minat petani menanam karet. "Penolakan bukan tidak beralasan, banyak sekali alasan yang membuat Dekarindo menolak rencana pemberlakuan BK atas karet itu antara lain kekhawatiran semakin enggannya petani bertanam dan memelihara tanaman karetnya," tandasnya.

BK yang dkenakan kepada pengusaha, ujarnya, pasti akan dibebankan kepada petani. Harga yang semakin murah dikhawatirkan membuat petani enggan bertanam dan memelihara tanamannya sehingga pasokan di dalam negeri semakin berkurang dan mengganggu ekspor. Menurut dia, tanaman karet sebagian besar atau 86% merupakan milik petani. "Bayangkan kalau petani tidak mau lagi bertanam karet, bagaimana kelangsungan ekspor," keluh Suharto.

Menurut Suharto, naik turunnya harga karet sangat dipengaruhi kondisi di pasar internasional, jadi pengenaan BK tidak serta merta membuat harga jual karet naik. "Yang pasti dampaknya langsung dirasakan petani dengan pengurangan harga beli atau semakin tingginya aksi penyelundupan untuk menghindari BK itu. Karena itu pemerintah harus mengetahui bahwa produk berbasis karet membutuhkan bahan penolong lainnya, tidak hanya karet saja. Kalau nyatanya penyerapan karet di dalam negeri rendah, sementara ekspor dibatasi, karet petani itu mau dikemanakan,” terangnya.

BERITA TERKAIT

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…