Siap Menang, Tidak Siap Kalah

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

 Proses panjang hajatan pesta demokrasi telah usai pasca pencoblosan 17 April kemarin dan rematch antara Jokowi vs Prabowo secara quick count dimenangkan kembali oleh Jokowi. Sayangnya, kubu pesaing juga mengklaim menang dan tentu ini sangat menarik terutama dikaitkan dengan sejarah panjang pesta demokrasi yang terjadi di republik ini. Oleh karena itu, KPU tidak menanggapi terkait klaim kemenangan dari kedua kubu dan KPU meyakini bahwa pemenang yang asli masih menunggu hitung manual versi KPU. Terkait ini maka beralasan jika kemudian di jagad medsos marak berita tentang klaim dari kedua kubu terkait kemenangannya. Ironisnya ada yang sudah melakukan sujud syukur seolah kemenangan sudah diraih dan sekali lagi ironisnya hal ini juga dilakukan pada pilpres 2014 lalu (meski akhirnya kalah).

Argumen untuk mengawal suara dan maraknya kecurangan selalu terjadi ketika salah satu pihak merasa kalah dan atau dikalahkan. Apalagi jika selisih suaranya sangat kecil maka dimanapun hajatan pesta demokrasi pasti akan muncul dugaan kecurangan. Hal ini nampaknya juga terjadi pasca pilpres kemarin. Bahkan, muncul juga seruan people power jika dugaan kecurangan yang terjadi berlangsung secara masif dan terstruktur. Padahal, sejatinya ada jalur hukum yang bisa ditempuh untuk mengadili adanya dugaan praktek kecurangan. Namun ketika ranah hukum dianggap tidak lagi berkuasa dan tidak mampu menyelesaikan persoalan kecurangan maka ancaman people power dikeluarkan. Tentu tidak bijak dengan mengandalkan pengerahan massa ketika salah satu pihak ada yang merasa kalah atau dikalahkan.

Di balik persaingan dalam hajatana pesta demokrasi tentu harus juga dibutuhkan sikap kenegarawanan. Setidaknya para petarung di pesta demokrasi harus mengakui dan tentu menyadari tidak ada dua pemenang karena sejatinya hanya ada satu pemenang. Terkait ini maka persoalannya adalah persepsian tentang siap menang dan tidak siap kalah di pertarungan pesta demokrasi. Ketika persepsian ini muncul maka ancaman yang terjadi adalah bagaimana harus menang dan bagaimana caranya agar lawan kalah. Tentunya ini sangat berbahaya karena tendensius terhadap ego kemenangan yang sifatnya sesaat dan kemenangan semacam ini justru akan membuat pondasi kepemimpinan menjadi rapuh. Padahal, untuk mendukung terhadap sukses kepemimpinan harus mendapatkan upaya dukungan dari banyak pihak, termasuk juga keterlibatan dari rival atau petarung yang dikalahkan. Bagaimanapun juga, petarung yang kalah akan menjadi oposisi dan tentu oposisi yang baik akan memberikan kritik konstruktif terhadap pemerintahan.

Terlepas dari kontroversi klaim kemenangan dari kedua kubu yang bertarung di pilpres 2019, pastinya rematch kali ini antara Jokowi vs Prabowo memberikan pelajaran yang terbaik bagi pendewasaan kehidupan demokrasi di republik ini. Oleh karenanya kedepan harus ada upaya membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi, terutama untuk mereduksi seminimal mungkin dugaan kecurangan. Memang tidak mudah untuk bisa legowo menerima kekalahan, apalagi setelah semua usaha dan upaya dikerahkan dalam upaya memenangkan pertarungan pesta demokrasi.

Meski demikian harus juga disadari bahwa dalam pertarungan hanya ada hasil menang, kalah dan seri. Padahal untuk ajang pertarungan pesta demokrasi tidak ada yang seri karena pilihanya hanya ada dua yaitu menang dan kalah. Jadi, sikap kenegarawanan sangat dibutuhkan untuk bisa menerima kemenangan tanpa harus merasa sombong dan menerima kekalahan dengan rasa ikhlas. Quick count memang bukan hasil akhir tapi minimal mirip dengan hasil real count.

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…