Sekitar 60 Keluarga Korban Lion Air Gugat Boeing di AS

Sekitar 60 Keluarga Korban Lion Air Gugat Boeing di AS

NERACA

Jakarta - Tim kuasa hukum sejumlah keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 mengungkapkan saat ini ada sekitar 60 keluarga korban Lion Air yang melayangkan gugatan terhadap Boeing di Amerika Serikat (AS).

"Tentu saja pada saat ini ada sekitar 60 keluarga (korban Lion Air) yang sudah memasukkan gugatannya di Amerika Serikat," ujar perwakilan tim pengacara dari Kabateck LLP Michael Indrajana di Jakarta, Senin (8/4).

Dia menjelaskan bahwa status gugatan hukum kepada Boeing di Amerika Serikat saat ini prosesnya adalah memasukkan gugatan yang sudah dimulai sejak November 2018."Intinya adalah ini kasus besar, mungkin salah satu kasus yang terbesar dalam sejarah penerbangan dunia," ujar Michael.

Mengapa dianggap kasus terbesar, Michael beralasan ada pesawat model baru yang boleh dibilang baru keluar dari pabrik dengan perkiraan usia baru sekitar dua setengah bulan untuk pesawat Lion Air JT-610 dan kurang lebih empat bulan untuk pesawat Ethiopia Air."Semuanya baru dari pabrik dan bisa jatuh dengan kejadiannya kurang dari setahun, jadi dekat sekali kejadian kecelakaannya," tutur Michael.

Michael melihat dari pernyataan maaf dan pertanggungjawaban dari CEO Boeing Dennis Muilenburg dianggap sebagai langkah ke depan yang baik, mengingat sepertinya dari pihak Boeing sudah mengambil gerakan untuk menuntaskan masalah tersebut.

"Boleh dibilang perusahaan sebesar Boeing sampai berani menyatakan permintaan maaf kepada publik pada saat ini, artinya mereka sudah mulai bertanggungjawab. Bagi keluarga yang masih ragu-ragu bimbang, atau takut mengajukan gugatan ke Amerika, kami mengharapkan bahwa mereka bisa mengambil keputusan dan ikut bergabung dengan kami semua yang sudah mengajukan gugatan di Amerika," ujar dia.

Dalam kesempatan sama, Denny Kailimang pendiri Kantor Advokat Kailimang & Ponto yang menjadi kuasa hukum sejumlah keluarga korban Lion Air JT 610 mengatakan pernyataan CEO Boeing juga memperkuat hak-hak keluarga korban untuk memperoleh ganti kerugian yang pantas dari produsen pesawat.

Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban Lion Air JT 610, Kantor Advokat Kailimang & Ponto bergabung bersama kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company. Kelompok kuasa hukum para penggugat terdiri dari Brian S. Kabateck dari Kabateck LLP, Los Angeles, Steven Hart dari firma asal Chicago, Hart McLaughlin & Eldridge, serta Sanjiv Singh dari kantor hukum Sanjiv N. Singh dan Michael Indrajana dari kantor hukum Indrajana Law Group, keduanya dari San Mateo, California.

Para advokat yang mewakili para keluarga korban tragedi Lion Air menggugat Boeing atas kelalaian yang mengakibatkan kematian (wrongful death). Gugatan ini diajukan di Cook County, negara bagian Illinois, Amerika Serikat lokasi kantor pusat produsen pesawat terbang tersebut.

Tuntut Kepastian Ganti Rugi

Sejumlah keluarga dan ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada Oktober 2018 menuntut kepastian pembayaran ganti rugi dari maskapai dan produsen pesawat bersangkutan."Sejujurnya kami bingung, frustasi dan kecewa dengan situasi ini. Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggung jawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang," ujar Merdian Agustin, keluarga dari korban Eka Suganda.

Merdian berharap permintaan maaf dari CEO Boeing Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia pada 4 April lalu, dapat menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi baik dari pihak maskapai maupun produsen.

"Pernyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 MAX 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera, berarti maskapai merampas hak ahli waris korban," tutur Merdian.

Masalah ini mengemuka karena banyak keluarga korban yang belum menerima ganti rugi. Pihak keluarga korban dipaksa untuk menandatangani "Release and Discharge" (R&D), di mana dokumen ini mewajibkan keluarga dan ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu. R&D harus ditandatangani sebelum ganti rugi bisa diberikan kepada pihak keluarga.

Padahal Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan.

"Keluarga korban layak untuk mendapatkan ganti rugi dari semua pihak yang bertanggung jawab. Bagi keluarga yang sudah telanjur menandatangani R&D, tim kami siap mewakili. Bagi yang belum, kami menganjurkan untuk tidak menandatangani," ujar Harry Ponto dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto yang menjadi kuasa hukum sejumlah keluarga korban Lion Air JT 610.

Harry juga menambahkan bahwa tim Kabateck dan Kailimang Ponto akan memperjuangkan hak-hak keluarga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban Lion Air JT 610, Kantor Advokat Kailimang & Ponto bergabung bersama kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company dengan salah satu anggota kelompok itu yakni Kabateck LLP dari Los Angeles, Amerika Serikat. Ant

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…