DIPERTANYAKAN, TARGET BAURAN ENERGI 23% PADA 2025 - Program EBT Terbentur Harga yang Mahal

Jakarta-Tantangan pengembangan program energi baru terbarukan (EBT) saat ini terbentur pada harga yang mahal. Padahal menurut Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia diharapkan dapat mencapai target bauran energi 23% di tahun 2025. EBT merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat diandalkan dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah-daerah terpencil di dalam negeri.

NERACA

"Jadi permasalahan kita adalah harga. Kalau harga sudah murah, tidak perlu ada lagi tidak perlu lagi harga khusus, tidak perlu lagi subsidi, insentif, dan sebagainya kita akan beli sendiri. Seperti lampu LED sekarang ini. Kemarin saya lihat yang 3 Watt hanya Rp 6.000 sekarang, dulu ratusan ribu rupiah," ujar anggota DEN Rinaldy Dalimi dalam sebuah pameran di Jakarta, Kamis (4/4).

Menurut dia, kebijakan energi nasional telah mengamanatkan bahwa perhitungan tarif listrik EBT menggunakan skema fit in tarif. "Harga EBT diamanatkan oleh kebijakan energi nasional bahwa dia adalah fit in tarif. Fit in tarif berarti itu harus di-compare dengan harga energi setempat," ujarnya.

Sebagai contoh, dia mengatakan perhitungan tarif EBT di daerah Papua, tidak bisa dibandingkan dengan harga di Pulau Jawa. Sebab tentu harganya menjadi tidak kompetitif. "Misalnya di Papua harga energi di sana mahal sekali. Harga EBT harus di-compete dengan harga di sana bukan dengan harga di pulau Jawa," ujarnya.

Untuk daerah-daerah yang harga EBT-nya masih lebih mahal dari harga energi konvensional, diperlukan dukungan pemerintah berupa pemberian subsidi. "Itu kalau dilaksanakan, itulah yang membuat kita menetapkan target 23% pada 2025 dan 31% minimal di tahun 2050. Tanpa itu kita tidak mungkin mencapai 23%," ujarnya.

Rinaldy mengatakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT), seperti solar panel akan membuat masyarakat mampu memproduksi listrik secara mandiri alias menjadi individual power producer.

Namun, hal ini dapat menjadi tantangan bagi penyedia listrik semacam PLN. Jika masyarakat semakin mampu menghasilkan listrik sendiri, maka permintaan listrik dari PLN tentu akan berkurang. "Bayangkan kalau semua kita pasang roof top di rumah masing-masing 30% kebutuhan listrik dari solar sel. Kita tidak perlu lagi listrik dari perusahaan listrik," ujarnya.

Nantinya masyarakat akan mendapatkan pasokan listrik dari fuel sel atau baterai yang mendapatkan energi dari solar panel yang dipasang di rumah masing-masing. "Bila kita sudah produksi sendiri tidak perlu lagi transmisi tegangan tinggi, distribusi kabel, masuk ke rumah kita. Fuel sel dan baterai besar akan menjadi pasokan industri. Sudah ada 100 MW. Fuel sel 100 MW," tutur dia.

Sektor industri pun tidak perlu lagi memasok listrik dari luar. Dia hanya perlu membangun fasilitas penyuplai listrik sendiri. "SPBU tidak diperlukan lagi. Pembangkit fosil tidak kita butuhkan lagi. Kita jangan bicara waktu. Ada yang bilang masih lama. Tapi kita tidak antisipasi, selalu stay behind, selalu ketinggalan dari negara lain kita akan selalu menjadi pasar dari negara lain," ujarnya.

Karena itu, perusahaan-perusahaan penyuplai energi seperti PLN dan Pertamina sudah harus mulai mengantisipasi perkembangan ini. Inovasi dan upaya mencari arah bisnis baru mutlak diperlukan. "Perusahaan ini harus dari sekarang mengantisipasi itu, kalau tidak nanti bangkrut dan sadarnya telat," ujarnya.

Sebagai contoh, Pertamina bisa mulai membangun dan memperkuat bisnis petrokimia. Gas yang selama ini dipasok sebagai bahan bakar, mesti mulai diarahkan menjadi bahan baku industri. "Gas kalau jadi bahan baku, minimal 5 kali lebih besar daripada dibakar. Presentasi Departemen Perindustrian, gas jadi bahan baku kaos, kaos itu dijual Rp 50.000, lalu dibandingkan mana lebih untuk buat kaos atau bakar sebagai energi. Ternyata nilai tambah kaos itu, 5 kali lebih besar," ujarnya.

Rinaldy mengingatkan, industri petrokimia harus dibangun cepat. Kalau tidak Pertamina akan ada jedah waktu yang kebingungan memasok atau menjual migas bila tidak dari sekarang antisipasi. Bisnis area pun akan berubah. PLN dan Pertamina tidak akan lagi menjadi pemasok energi berbasis fosil, melainkan akan ikut dalam persaingan bisnis solar sel dan baterai.

"Bisnis area berubah. Perusahaan listrik dan minyak mereka akan compete untuk menjadi perusahaan solar sel untuk menjadi perusahaan baterai. Negara yang impor baterai dan solar sel akan sama dengan negara yang (sekarang) mengimpor energi. Negara yang ekspor baterai dan solar sel akan menjadi negara yang mengekspor energi nantinya," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.

Energi Fosil

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris mengatakan, cadangan energi fosil terus mengalami pengurangan setiap tahunnya. Oleh karena itu, jika sumber energi alternatif tidak dipersiapkan sejak dini, maka mengganggu kebutuhan akan energi. "Kalau kita kembali melihat kepada bagaimana energi di Indonesia sampai dengan saat ini, kita masih menggunakan energi fosil sebanyak 90% lebih. Batubara paling banyak kemudian minyak dan gas. Karena terus berkurang pemanfaatannya, maka kita kurangi," tutur dia.

Menurut dia, untuk mengurangi penggunaan energi fosil, maka diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan penggunaan EBT. "Untuk melakukan itu maka peran energi bersih yang terbarukan, yang sustainable kita tingkatkan. Wujudnya lewat tenaga angin, tenaga matahari yang wujudnya banyak. Ini belum diterapkan maksimal karena perannya di bawah 10%,” ujarnya.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, bauran EBT untuk pembangkit listrik masih berada di angka 12,4% pada 2018. Sumber energi terbesar untuk pembangkit listrik masih berasal dari batu bara sebesar 60,5% dan gas bumi 22,1%.

Padahal, Indonesia menargetkan bauran EBT untuk pembangkit listrik bisa mencapai 23% pada 2025. Itu berarti, masih ada kekurangan 10,6% bauran EBT untuk mencapai target itu. "Energi kita lihat sebagai penggerak ekonomi. Maka tentunya aspek pentingnya benar-benar harus kita jaga," ujarnya.

Dia pun mengakui bahwa saat ini masih cukup banyak masyarakat Indonesia, yakni sebanyak 2.500 desa, yang belum memiliki akses sambungan listrik. EBT, kata dia, menjadi salah satu sumber energi alternatif yang dapat diandalkan dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah-daerah tersebut.

"2.500 desa itu sama sekali belum ada dan pemerintah punya program untuk itu. Bapak ibu sebagaimana kita ada target 23% untuk EBT dan upaya untuk mencapai target itu dilakukan oleh pemerintah, swasta dan lembaga pembiayaan itu ada upaya untuk mencapai itu agar listrik bisa dirasakan oleh kita," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…