Sawit Indonesia Melawan

Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini, pemerintah juga harus melindungi seluruh kekayaan yang ada dalam bumi Indonesia, termasuk di antaranya komoditas sawit.

 

NERACA

 

Komisi Eropa sudah memutuskan menghentikan minyak kelapa sawit atau CPO sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan ini diambil, setelah Komisi berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaanya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.

Hal tersebut berseberangan dengan kepentingan produsen utama minyak kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia. Uni Eropa akan meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030. Kriteria tersebut juga menentukan apa yang merupakan sumber terbarukan yang sesuai.

Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.

Tak pelak, DPR dan masyarakat sawit Indonesia pun mendukung pemerintah yang mengancam akan keluar dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris (Paris Agreement) seperti dinyatakan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pasca keputusan Komisi Eropa yang menghapus sawit sebagai sumber biofuel pada 2023.

Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini, pemerintah juga harus melindungi seluruh kekayaan yang ada dalam bumi Indonesia, termasuk di antaranya komoditas sawit.

Oleh karena itu, lanjutnya, kalau memang terjadi ancaman terhadap eksistensi sawit di Eropa, maka Indonesia harus bersikap. "Sikap kita ya tadi, kalau mereka boikot kita, ya kita bisa boikot (produk Eropa). Jangan kita diinjak-injak martabat kita, kita diam. Inilah sikap, walaupun terlambat sikap itu, saya memberikan apresiasi dan mendukung langkah pemerintah ini," ujar Firman melalui keterangan tertulis di Jakarta.

Firman menegaskan bahwa dalam persaingan dagang minyak nabati antara Eropa dengan Indonesia, Eropa selalu menggunakan instrumen politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non goverment organization (NGO).

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan jika Uni Eropa tidak mengubah pandangannya yang selalu negatif dan diskriminatif terhadap sawit Indonesia, maka seluruh masyarakat sawit Indonesia mendukung ancaman pemerintah agar Indonesia keluar dari Paris Agreement.

Menurut dia, tak ada salahnya apabila Indonesia mengikuti langkah Amerika Serikat dan Brazil yang lebih dulu keluar dari Paris Agreement. "Tidak ada gunanya Indonesia bekerjasama dengan Uni Eropa jika tidak menghargai Indonesia, apalagi merugikan Indonesia. Sawit adalah Indonesia dan Indonesia adalah sawit. Industri sawit adalah industri strategis nasional harus dilindungi dan negara harus hadir," katanya.

Menurut Tungkot, ada beberapa LSM berkedok lingkungan yang selalu membela kepentingan Eropa untuk menghambat perdagangan sawit Indonesia. Padahal, keputusan Komisi Uni Eropa yang menghapuskan sawit sebagai bahan bakar biofuel, cenderung mendiskriminasikan komoditas dari negara berkembang. "Mereka (LSM) itu seharusnya bilang ke Uni Eropa, jangan diskriminatif terhadap sawit. Ingatkan juga Uni Eropa supaya tidak meributkan emisi sawit yang kecil untuk menutupi emisi mereka sangat besar," katanya.

Sama seperti Firman, Tungkot juga mendukung pernyataan Menko Maritim yang mengancam keluar dari Paris Agreement. "Jika Indonesia hanya korban Paris Agreement, ya kita keluar seperti dilakukan Brazil dan USA. Sejak awal sebetulnya Indonesia tidak wajib ikut Paris Agreement karena emisi kita masih kecil,"katanya.

Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Peter F Gontha mengatakan, Brazil keluar dari Paris Agreement demi mengembangkan perkebunan tebu untuk produksi biofuel etanol dan meningkatkan produksi daging melalui ternak sapi.

Menurut dia, pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biofuel di kawasan Benua Biru ini merupakan upaya Uni Eropa untuk memperbaiki defisit perdagangan terhadap Indonesia.

 

Gugat ke WTO

 

Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono menilai, putusan Komisi Eropa dibuat tanpa memperhatikan kepentingan Indonesia. Padahal, menurutnya sawit merupakan salah satu komoditas yang mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Untuk itu, GAPKI pun mendorong pemerintah untuk segera menggugat keputusan Komisi Eropa tersebut ke Badan Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). "GAPKI akan mendukung pemerintah, termasuk kalau akan diajukan ke WTO," ujar Mukti kepada kumparan, Sabtu (16/3).

Dorongan GAPKI kepada pemerintah Indonesia untuk membawa perkara ini ke WTO mirip dengan yang dilakukan oleh Malaysia yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis.

Mukti juga menyampaikan, selama ini pihaknya telah memberikan masukan kepada UE bahwa kelapa sawit Indonesia sudah sesuai dengan kaidah keberlanjutan atau penerapan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan kaidah ISPO, maka dapat meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional.

Tidak hanya berbalut sertifikat ISPO, mayoritas produk kelapa sawit Indonesia sudah memiliki sertifikat lain yang lebih sahih yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi dengan maksud memverifikasi pelaksanaan kebun sawit berkelanjutan ternyata tak membuat Uni Eropa luluh.

Berdasarkan catatan GAPKI, ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE tahun 2018 sebesar 4,78 juta ton dari total ekspor sekitar 34 juta ton. Sementara produksi kelapa sawit Indonesia rata-rata setiap tahun sekitar 50 juta ton.

Mukti juga menuturkan, dampak kebijakan UE itu akan membuat ekspor CPO Indonesia terhambat. "Lumayan (berdampak). Tapi kan EU beberapa negara. India yang satu negara impornya hampir 7 juta ton," katanya.

Komisi UE telah mengesahkan aksi delegasi (Delegated Act) yang salah satu isinya mengkategorisasikan minyak kelapa sawit sebagai produk tidak berkelanjutan. Akibatnya, penggunaan CPO untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus.

Selanjutnya, Komisi UE akan mengajukan Delegated Act itu kepada Parlemen UE. Parlemen UE memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan menerima atau menolak keputusan tersebut.

Komisi UE berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed. Pihaknya menetapkan 10 persen sebagai batas minimal bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya. (dbs)

 

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…