Sawit Indonesia Terancam

Sinyal perundingan masalah ekspor sawit dan minyak sawit (crude palm oil—CPO) ke Uni Eropa (UE) sepertinya terancam deadlock. Bahkan UE disebut-sebut bakal memberlakukan kebijakan diskriminatif atas produk CPO Indonesia karena dianggap berisiko tinggi. Indonesia tentu tidak tinggal diam.

Kondisi hubungan dagang Indonesia-UE yang kian memanas akibat dipicu oleh sikap sejumlah negara Eropa tersebut yang mendiskriminasi produk sawit dan minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia. Entah apa sebabnya, Parlemen UE telah memberikan stempel low risk terhadap produk minyak nabati asal AS. Sedangkan terhadap minyak sawit Indonesia berstatus high risk.  

Menghadapi kebijakan UE tersebut, Menlu Retno LP Marsudi menegaskan kalau memang akal-akalan Parlemen UE direalisasikan menjadi kebijakan, Indonesia siap membawa persoalan sawit ini ke World Trade Organization (WTO). “UE tentu memiliki data, kita juga memiliki scientific data. Dari sejak awal kita berusaha untuk mengajak UE dan Komisi Eropa untuk sama-sama melihat data dan penjelasan dari masing-masing data itu. Tapi lepas dari semua yang diupayakan Indonesia beberapa tahun belakangan ini, kok tampaknya tidak ada respon yang cukup positif dari UE,” ujarnya, belum lama ini.

Meski demikian, Indonesia tidak bergerak sendiri. Karena Malaysia juga mengambil sikap yang sama. Oleh karena itu Indonesia-Malaysia bekerjasama, lewat pertemuan dengan Menlu Malaysia di forum OKI di Istambul, sepakat melawan diskriminasi UE. Banyak kemungkinan yang akan ditempuh pemerintah Indonesia untuk melawan diskriminasi UE tersebut.

Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor CPO dan turunannya sepanjang 2018 mencapai 32,02 juta ton. Total itu berasal dari tiga negara utama:  India 6,71 juta ton, Uni Eropa 4,78 juta ton dan Cina 4,41 juta ton. Ekspor ke AS hanya 1,21 juta ton dan kumpulan negara non-tradisional lain adalah 6,44 juta ton.

Tidak hanya Menlu Retno. Wapres Jusuf Kalla juga menyatakan kekecewaannya terhadap langkah UE yang mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. Pasalnya, hal ini serius terkait dengan 15 juta rakyat Indonesia yang bekerja langsung maupun tidak langsung di bisnis sawit itu.

Melihat peta perdagangan internasional yang diwarnai skenario “perang dagang” sepertinya terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta antara Indonesia dan UE. Namun, apakah Indonesia memiliki “peluru” yang cukup untuk membuat UE melambaikan “bendera putih”?

Jika melihat data perdagangan dengan luar negeri sejak 2001, Indonesia selalu berada di posisi surplus dengan Uni Eropa. Seperti pada 2018, nilai surplus perdagangan barang Indonesia dengan Uni Eropa mencapai US$2,97 miliar. Kemudian pada 2011 surplus meningkat hingga US$8,09 miliar. Artinya, Indonesia masih mampu mencetak keuntungan dengan melakukan transaksi dengan Uni Eropa.

Nah, jika dikalkulasi memulai perang dagang dengan Uni Eropa, tentu akan membawa dampak negatif yang lebih besar ketimbang positif. Bila Wapres JK mengancam  akan mengentikan pembelian pesawat terbang asal Prancis, Airbus, yang nilai impornya hanya senilai US$242,5 juta, jauh lebih kecil dibanding ekspor minyak sawit.

Menko Perekonomian Darmin Nasution juga secara tegas mengatakan jika sikap parlemen UE seperti itu, dia mencurigai langkah yang dilakukan oleh parlemen Uni Eropa jelas untuk menjegal produk minyak sawit Indonesia.

Sikap Parlemen UE tentu sangat disayangkan sebab langkah ini bisa mempengaruhi hubungan baik antara Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa. Padahal hubungan kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa sudah terjadi sejak zaman kolonial. Apalagi antara Indonesia dan Uni Eropa memiliki banyak kesamaan dan saling bertukar dalam bidang perdagangan.

Idealnya, dari kebersamaan yang sudah terjalin cukup panjang antara Indonesia dan UE, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan kerjasama bilateral yang lebih baik. Bukan malah saling mengancam satu sama lain. Sebab kalau berkelahi, tidak ada yang menang, kedua negara akan sama-sama menderita kerugian.  

BERITA TERKAIT

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

Modernisasi Pertanian

Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…

Normalisasi Harga Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

Modernisasi Pertanian

Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…

Normalisasi Harga Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…