Niaga Komoditas - Retaliasi Diskriminasi Sawit Masih Tunggu Keputusan Uni Eropa

NERACA

Jakarta – Staf Khusus Menteri Luar Negeri Penguatan Program-Program Prioritas Peter Frans Gontha mengatakan langkah retaliasi sebagai respons Indonesia terhadap diskriminasi produk kelapa sawit masih menunggu keputusan Parlemen Eropa dan Uni Eropa.

"Kita belum mau retaliasi, kami melihat dulu bagaimana keputusan Uni Eropa. Kami persiapkan langkah kalau keputusannya merugikan kita, kalau keputusannya sawit tidak disetujui. Jadi retaliasi dan langkah ke WTO masih memakan waktu," kata Peter pada diskusi pada Seminar Industri Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, sebagaimana disalin dari Antara.

Retaliasi akan ditempuh jika Parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II" yang diajukan pada 13 Maret 2019. Parlemen Eropa masih memiliki waktu untuk meninjau rancangan yang diajukan oleh Komisi Eropa tersebut dalam waktu dua bulan sejak diterbitkan.

Dalam rancangan tersebut, minyak sawit (CPO) diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan, sedangkan minyak kedelai asal Amerika Serikat masuk dalam kategori risiko rendah.

Peter menjelaskan bahwa retaliasi bukan berarti Indonesia juga akan melakukan pelarangan atau boikot produk Uni Eropa masuk ke Indonesia, tetapi bisa menyampaikan protes terhadap PBB atau Pengadilan Tinggi Uni Eropa (the Court of Justice/CJEU).

Menurut dia, Indonesia juga harus menggandeng International Chambers of Commerce (ICC) Indonesia yang berkantor pusat di Paris, Prancis, untuk melakukan perlawanan diskriminasi ini. Sejauh ini, pemerintah telah menggalang dukungan dari berbagai lembaga, salah satunya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut dia, DPR sudah mengirim surat juga kepada parlemen Eropa.

"Kita tidak pernah melibatkan ICC untuk memperjuangkan kepentingan kita. Kita selalu perjuangkan lewat Kadin dan Apindo. Padahal ICC adalah institusi yang diakui oleh WTO dan United Nations. Kita harus 'engage' ICC untuk ini," katanya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengancam balasan, atau retaliasi, kepada Uni Eropa jika kawasan itu memboikot produk kelapa sawit Indonesia. Menurut Wapres, industri kelapa sawit merupakan salah satu industri besar di Indonesia yang menyangkut sekitar 15 juta orang yang bekerja langsung maupun tidak langsung di komoditas itu.

"Kalau seperti tadi, oke kita tidak beli Airbus lagi, itu juga hak kita. Kalau Uni Eropa memiliki hak membuat aturan, kita juga punya hak bikin aturan," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, sebagaimana disalin dari laman Antara, Rabu (27/3).

Kalla menjelaskan Indonesia dan Eropa merupakan pasar yang besar. Dia mengatakan jika Eropa menahan produk minyak sawit Indonesia melalui aturan, pemerintah juga bisa melakukan upaya yang sama kepada produk asal Eropa. "Biasanya kita bisa selesaikan dengan negosiasi atau lewat WTO kalau memang terpaksa. Ya kita lewati dulu prosedur yang ada," jelas JK.

Pemerintah juga akan mengirim delegasi ke Uni Eropa untuk memberikan penjelasan sebagai respons atas langkah diskriminatif terhadap sawit. Tujuan delegasi itu yakni memberikan tanggapan atas rancangan peraturan Komisi Eropa yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive II.

Komisi Eropa telah memutuskan bahwa budidaya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan. Komisi tersebut juga telah mengeluarkan Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive II.

Secara garis besar rancangan itu akan mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa sehingga dapat menguntungkan produk minyak nabati lainnya. Saat ini, Komisi Eropa juga telah mengadopsi Delegated Regulation no C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada 13 Maret 2019.

Dokumen ini akan diserahkan kepada Dewan dan Parlemen Uni Eropa melalui tahap "scrutinize document" dalam waktu dua bulan ke depan. Hal itu berpotensi memberikan dampak negatif bagi kepentingan produsen minyak kelapa sawit utama seperti Indonesia dan Malaysia.

Sementara itu, ekonom Indef Aviliani menyebut perundingan bilateral merupakan kunci Indonesia dalam menghadapi diskriminasi minyak kelapa sawit yang dilakukan Uni Eropa. "Sekarang ini Indonesia tidak boleh melawan, karena di era Trump saat ini justru merupakan era di mana masing-masing negara memproteksi dirinya sendiri. Justru yang harus kita lakukan adalah pendekatan bilateral," ujar Aviliani.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…