APBN dan Utang Ugal-Ugalan: di Mana DPR?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Februari 2019 sangat mengecewakan dan sekaligus mengkhawatirkan. Pengelolaan APBN sepertinya sangat sarat kepentingan dan jauh dari profesional dan pruden, bahkan berpotensi membahayakan keuangan negara.

Mengecewakan karena realisasi Pendapatan Negara sampai akhir Februari 2019 masih sangat rendah, yaitu hanya Rp217,21 triiliun, atau 10,03 persen dari total anggaran dalam setahun sebesar Rp2.165,11 triliun. Dari Pendapatan Negara tersebut, penerimaan perpajakan, termasuk penerimaan dari Bea (masuk dan keluar) dan Cukai, hanya Rp177,24 triliun atau 9,92 persen dari total anggaran setahun sebesar Rp1.786,38 triliun. Dengan kondisi seperti ini kemungkinan besar akan terjadi shortfall penerimaan pajak cukup besar yang membuat defisit APBN membengkak, kecuali kurs rupiah terdepresiasi tajam seperti yang terjadi tahun lalu yang membuat pendapatan negara bukan pajak melonjak?

Di lain sisi, realisasi Belanja Negara sampai akhir Februari 2019 sudah mencapai Rp271,83 triliun, dengan defisit anggaran Rp54,61 triliun. Tetapi, kualitas Belanja Negara pada dua bulan pertama 2019 ini cukup mengkhawatirkan. Belanja Barang dan Belanja Modal sangat rendah sekali. Sampai akhir Januari 2019 Belanja Barang dan Belanja Modal masing-masing baru mencapai Rp2,9 triliun dan Rp1,65 triliun. Sedangkan belanja negara untuk Bantuan Sosial untuk periode yang sama sudah mencapai Rp15,13 triliun, atau 15,59 persen dari pagu APBN. Dan sampai akhir Februari 2019, Belanja Negara untuk Bantuan Sosial meningkat menjadi Rp23,60 triliun atau sudah mencapai 24,31 persen dari total anggaran.

Realisasi persentase sebesar 24,31 persen ini jauh lebih besar dari Belanja Barang dan Belanja Modal yang masing-masing hanya mencapai 4,41 persen dan 2,26 persen dari pagu anggaran masing-masing. Banyak pihak yang mencurigai Belanja Bantuan Sosial yang jor-joran sejak awal Januari ini terkait pilpres yang dapat menguntungkan salah satu pasangan calon presiden. Semoga kelak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dapat memeriksa apakah ada penyelewengan keuangan negara terkait Bantuan Sosial tersebut.

Dengan realisasi Pendapatan dan Belanja negara yang sarat kepentingan tersebut, APBN mengalami defisit cukup besar, APBN Januari 2019 membukukan defisit Rp45,77 triliun, atau setara 15,46 persen dari rencana defisit setahun yang sebesar Rp296 triliun. Untung saja Belanja Februari 2019 turun cukup tajam dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu dari Rp153,85 triliun menjadi hanya Rp117,98 triliun, sehingga defisit APBN Februari 2019 hanya Rp8,84 triliun. Dengan demikian, total defisit sampai akhir Februari 2019 menjadi Rp54,61 triliun atau 18,45 persen dari total anggaran defisit.

Untuk menutupi defisit APBN tersebut, pemerintah harus menarik utang yang di dalam APBN disebut Pembiayaan. Tetapi, anehnya pemerintah menarik utang jauh lebih besar dari yang diperlukan. Penarikan utang ini terkesan dilakukan seenaknya saja, tidak pruden, bahkan dapat dikatakan ugal-ugalan yang dapat membahayakan keuangan negara. Untuk periode Januari 2019, pemerintah menarik utang sebesar Rp122,53 triliun untuk defisit Rp45,77 triliun saja. Penarikan utang ini mencapai 41,39 persen dari total anggaran defisit setahun sebesar Rp296 triliun. Apakah penarikan utang seperti ini tidak terkesan ugal-ugalan? Sedangkan untuk defisit Februari 2019 sebesar Rp8,84 triliun, pemerintah bahkan menarik utang tambahan lagi Rp75,03 triliun. Kok bisa seperti itu? Jadi, tidak berlebihan kalau disebut ugal-ugalan? Padahal penarikan utang pada bulan sebelumya sebesar Rp122,53 triliun sudah jauh lebih dari cukup untuk menutupi defisit tersebut. Penarikan utang yang ugal-ugalan seperti ini menguntungkan siapa?

Dengan demikian, total penarikan utang hingga akhir Februari 2019 menjadi Rp197,56 triliun, atau 66,74 persen dari total anggaran defisit 2019 sebesar Rp296 triliun. Luar biasa besarnya realisasi penarikan utang tersebut.

Padahal, menjelang akhir 2018 pemerintah juga sudah menarik utang yang jauh lebih besar dari realisasi defisit tahun 2018. Alasannya untuk pre-funding defisit 2019, yaitu menarik pinjaman lebih awal. Desember 2018 pemerintah menerbitkan surat utang 3 miliar dolar AS untuk menutupi defisit 2019. Oleh karena itu, meskipun total defisit APBN 2018 sebesar Rp259,9 triliun tetapi penarikan utang, (Pembiayaan) pemerintah pada 2018 mencapai Rp300,36 triliun. Artinya, ada kelebihan penarikan utang sekitar Rp40 triliun. Kalau jumlah ini ditambahkan dengan penarikan utang sampai akhir Februari 2019 maka total penarikan utang untuk defisit APBN 2019 sudah mencapai Rp237,56 triliun, atau sekitar 80 persen dari total anggaran defisit 2019. Artinya, terjadi kelebihan penarikan utang sebesar Rp182,95 triliun dibandingkan dengan defisit sampai akhir Februari 2019 yang hanya sebesar Rp54,61 triliun.

Pertanyannya, untuk apa pemerintah menarik utang yang berlebihan tersebut? Apakah untuk intervensi kurs Rupiah agar tidak anjlok sampai Pilpres 17 April yang akan datang? Apakah pemerintah dapat menarik utang tanpa batas? Bagaimana nasib Rupiah kalau batasan utang sudah terlampaui?

Seperti kita ketahui, kesepakatan APBN dituangkan di dalam UU tentang APBN. Di dalam UU tersebut diatur jumlah Pembiayaan (baca: penarikan utang) untuk menutupi defisit. Bagaimana kalau ternyata realisasi Pembiayaan jauh lebih besar dari nilai yang ditentukan di dalam UU APBN? Apa konsekuensinya kalau pemerintah dengan sengaja melanggar UU APBN?

Siapa yang mengawasi penyelenggaraan APBN dan penarikan utang tersebut? BPK? DPR? (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…