Tarif Baru MRT Mendismotivasi Penumpang, Sebaiknya Digratiskan Saja

Oleh: Djony Edward

Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta telah menyepakati ketetapan tarif Moda Raya Transportasi (mass rapid transit—MRT) Fase I Lebak Bulus-Bundaran HI antara Rp3.000 hingga Rp14.000. Apakah tarif proporsional sesuai jarak tempuh ini sudah sesuai harapan publik?

Kesepakatan tarif proporsional itu ditandai dengan paraf dari Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam tabel tarif usulan MRT. Dimana setiap penumpang secara proporsional dikenakan tarif sesuai jarak tempuhnya.

"Alhamdulilah sudah disepakati angka yang tercantum tabel ini. Inilah yang akan diumumkan kepada masyarakat di Jakarta," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan kemarin.

Anies menyatakan tarif yang sudah disetuju kedua belah pihak dapat diartikan dua hal. Pertama rerata tarif yang dikenakan adalah Rp1.000 per kilometer. Kedua, rerata tarif sebesar Rp8.500. Adapun tarif minimal ditetapkan sebesar Rp3.000. "Kalau rerata maka Rp8.500, karena dari Lebak Bulus ke HI Rp14 ribu. Saya usul memberitakan jangan asumsi jauh dekat sama," tutup Anies.

Sebelumnya memang berkembang usulan agar tarif MRT Fase I itu sama,  yakni jauh dekat dipukul rata sebesar Rp8.500 atau Rp10.000. Dengan demikian yang diputuskan Pemprov dan DPRD DKI Jakarta adalah tarif proporsional.

Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi menyatakan sedianya DPRD sudah setuju dengan eksekutif sejak kemarin. Hanya saja ada mispersepsi antara DPRD dengan DKI terkait mengartikan tarif rata-rata dengan tarif flat.

"Kalau dibelah tengah (tarif)-nya sama saja dengan Rp8.500 itu yang rerata tapi kalau dari ujung ke ujung kan sama saja Rp14 ribu," kata Prasetyo.

Sebelumnya Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengusulkan agar tarif MRT Fase I agar tidak lebih dari Rp10.000. Kepala BPTJ Bambang Prihartono berpendapat kalau lebih dari angka tersebut dikhawatirkan hanya sedikit masyarakat yang beralih dari kendaraan pribadi ke MRT. Bambang berharap banyak masyarakat yang mulai beralih ke transportasi baru tersebut.

"Berdasarkan kajian kami angka psikologis itu tidak boleh lebih dari Rp10.000. Karena angkanya lebih dari itu, dikhawatirkan perpindahan orang menggunakan mobil pribadi ke angkutan umum atau MRT tidak sesuai target" ujar Bambang.

Dala riset yang dilakukan BPTJ target selama pengoperasian tahap satu ini ada perpindahan sekitar 10% dari kendaraan roda empat ke MRT kemudian roda dua 6%. Kalau dalam setahun pemborosan BBM sebesar Rp100 triliun, dari jalur MRT ini sedikitnya akan ada penghematan sedikitnya Rp10 triliun per tahun.

Tapi yang tak kalah pentingnya adalah terjadi perubahan habit dari penumpang menggunakan mobil dan motor ke MRT. Sehingga tarif tidak boleh menghambat orang naik MRT karena dirasakan kemahalan. Presiden Jokowi sendiri saat menghadiri "10.000 Pengusaha Deklarasi Dukung Jokowi-Ma'ruf" di Istora Senayan pada Kamis (21/3) menyatakan, transportasi publik seperti MRT tidak mengapa kalau merugi, tapi setidaknya Pemprov DKI berhasil menurunkan orang menggunakan kendaraan pribadi.

Ia menyebutkan, kalau untuk negara, hitungannya bukan untung dan rugi. Hitungannya bukan profit dan tak profit tapi hitungannya adalah benefit. Menurut dia, perhitungan untung rugi itu untuk para pengusaha dan perusahaan. "Kalau hitung untung rugi, MRT Jakarta tidak akan ada."

Pada saat yang sama Pemprov DKI bisa mendorong penghematan penggunaan BBM di wilayah Selatan Jakarta. Selain itu akan terjadi kelancaran arus mobil dan motor, penurunan tingkat gas buang atau polusi di jalur MRT, termasuk penghematan waktu tempuh di jalur tersebut.

Kita patut bersyukur apa yang dilakukan oleh Wapres Jusuf Kalla pada 2006 saat mengubah habit masyarakat dari mengkonsumsi minyak tanah untuk memasak beralih ke tabung gas melon. Saat itu JK menggratiskan 4 juta tabung gas dan masyarakat hanya membeli harga eceran gas yang diisi ulang.

Dampaknya sangat nyata, masyarakat tidak lagi mengkonsumsi minyak tanah yang subsidinya sangat besar. Dalam dua tahun masyarakat sudah terbiasa dengan menggunakan gas tabung untuk memasak kebutuhan sehari-hari.

Dari perubahan habit yang mulus tersebut, harusnya mendorong Pemprov DKI juga mengedepankan perubahan habit berkendara dari kendaraan pribadi ke MRT. Itu sebabnya faktor tarif harus menjadi pemicu, dengan kata lain tidak perlu mahal-mahal agar orang berbondong-bondong menggunakan MRT dan meninggalkan kendaraan pribadi.

Itu sebabnya dengan tarif MRT antara Rp3.000 sampai Rp14.000 dikhawatirkan target migrasi mobil ke MRT hingga 10% atau motor ke MRT 6% tidak tercapai. Alangkah bijaknya Pemprov dan DPRD DKI Jakarta menimbang ulang pentarifan MRT yang benar-benar merangsang orang menggunakan moda raya transportasi tersebut.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M. Taufik berpendapat keputusan antara Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPRD Prasetyo Edi tidak sah lantaran tidak diputuskan dalam forum Rapiat Pimpinan Gabungan (Rapimgab). Oleh karena itu dia mendorong setidaknya tarif MRT Fase I digratiskan dulu untuk tahun ini, karena untuk mengubah habit pengendara mobil dan motor agar mudah pindah ke MRT.

"Tidak ada salahnya digratiskan dulu seperti saran Komisi B DPRD DKI Jakarta," jelas Taufik. Apalagi, tahun lalu Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) DKI mencapai Rp14 triliun. Tampaknya ide terakhir ini patut dipertimbangkan karena selain dapat memudahkan migrasi pengguna kendaraan pribadi, juga dapat mengurangi pemborosan BBM hingga Rp10 triliun, dan mengurangi tingkat polusi gas buang serta mencairkan kepadatan jalur Lebak Bulus-Bundaran HI. (www.nusantara.news)

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…