Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan Jika Ingin Suku Bunga Turun

 

 

NERACA

 

Jakarta - Indonesia masih menghadapi "pekerjaan rumah" untuk memperbaiki masalah fundamental defisit transaksi berjalan, sebelum Bank Indonesia berani untuk menurunkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate". Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, usai peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Jakarta, Rabu (27/3), mengatakan ada tiga hal yang sangat mempengaruhi penentuan kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral, yakni inflasi, kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed, dan defisit transaksi berjalan.

Inflasi selalu berada di rentang bawah sasaran Bank Sentral (inflation targeting framework) sejak awal 2015 hingga awal 2019. Sementara, The Fed sudah melontarkan sinyalemen bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan, setidaknya dalam dua tahun ke depan, sehingga dapat mendorong modal asing ke dalam negeri.

Dengan demikian, faktor penentu yang masih menjadi hambatan adalah defisit transaksi berjalan Indonesia. Sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 2,98 persen Produk Domestik Bruto atau 31 miliar dolar AS. "Dari tiga faktor itu, tinggal satu faktor yang harus kita pantau dan itu penting untuk kebijakan moneter ke depan," ujar Mirza.

BI dalam Rapat Dewan Gubernur periode Maret 2019 ini, menahan tingkat suku bunga acuannya di level enam persen untuk keempat kalinya. Terakhir kali Bank Sentral memangkas suku bunga acuannya adalah 1,5 tahun lalu ketika tekanan ekonomi global mereda serupa dengan kondisi ekonomi saat ini. Di 2019, ketika suku bunga acuan di negara-negara maju diperkirakan tidak akan meningkat secara cepat karena perlambatan ekonomi global, negara-negara berkembang termasuk Indonesia mendapat relaksasi untuk mengoptimalkan instrumen suku bunga acuannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, kata Mirza, fokus kebijakan suku bunga acuan BI masih diprioritaskan kepada stabilitas eksternal. Fokus kepada stabilitas eksternal dilakukan untuk menjaga daya tarik aset keuangan berdenominasi rupiah sehingga modal asing terus masuk dan mampu membiayai defisit transaksi berjalan. Di 2019, Bank Sentral memiliki target untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Kepala Ekonom PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Ryan Kiryanto mengatakan kebijakan suku bunga acuan BI memang perlu ditujukan untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global, terutama Tiongkok, AS dan Uni Eropa. Kebijakan Bank Indonesia yang masih menahan suku bunga acuan pada level enam persen tepat dalam mengatasi masalah defisit transaksi berjalan yang masih menjadi ancaman di dalam negeri.

"Ibarat permainan sepakbola, langkah BI memperkuat pertahanan domestik dari tekanan eksternal merupakan langkah yang cerdas sebelum tekanan eksternal tadi makin kuat dan besar," ujar Ryan beberapa waktu lalu.

Bukan Masalah

Bagi Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut defisit transaksi berjalan adalah hal yang wajar bagi negara berkembang. Pasalnya, negara berkembang membutuhkan impor bahan baku dan barang modal yang menandai perekonomian terus berjalan. Menurutnya, sejumlah negara lain juga pernah mengalami CAD dengan rasio yang tinggi seperti Singapura mencapai 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), China sebelumnya pernah mencapai 12% dari PDB. Vietnam bahkan baru mengalami transaksi berjalan yang surplus pada tahun 2011. “Jadi yang bermasalah bukan di CAD. Tapi bagaimana dengan kondisi CAD tapi Rupiah bisa stabil. Itu yang harus dipecahkan,” katanya.

Dia menyatakan, yang perlu dilakukan pemerintah yakni membuat investor mau menanamkan lebih lama dananya di Indonesia. Saat ini investasi Indonesia sebagian besar berasal dari jangka pendek, hal ini membuat kurs Rupiah dan pasar modal mudah bergejolak. Terlihat pada tahun 2017 investasi melalui portofolio sebesar USD20,6 miliar sedangkan dari investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) hanya USD19 miliar. Artinya lebih besar investasi yang mudah pergi dari Indonesia. "Defisit APBN itu dibiayai dengan obligasi pemerintah, di mana 25% dalam global bond sednagkan 75% dalam bentuk mata uang lokal atau Rupiah. Tapi dari obligasi denominasi Rupiah itu 60%-nya dimiliki non residen (bukan investor dalam negeri)," katanya.

 

BERITA TERKAIT

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…