Pembentukan Holding BUMN Harus Selektif

Oleh: Sugiyono Madelan Ibrahim, Ekonom Senior Indef

Pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN. Penugasan tersebut berupa subsidi untuk public service obligation, kewajiban BUMN memberikan layanan kepada masyarakat. Sebagai contoh, PSO diberikan kepada PT Kereta Api Indonesia, PT Pelni, dan LKBN Antara. Subsidi PSO meningkat dari tahun 2015-2018.

Untuk membangun infrastruktur selain dari pengeluaran belanja modal, pemerintah memberikan tugas kepada BUMN. Untuk menguatkan tugas tersebut pemerintah menyuntikkan dana dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN). PMN semula Rp 64,9 triliun kemudian turun menjadi Rp 50,5 triliun.

Dalam perjalanan waktu ternyata penugasan untuk membangun infrastruktur tidak cukup kuat menggunakan PMN yang bersumber dari pembiayaan investasi  APBN. Akibatnya PMN jauh berkurang tahun 2017 dan 2018. Pemerintah kemudian kembali berorientasi pada pembangunan sumberdaya manusia setelah dukungan dana dari sumber APBN tidak mudah lagi dilakukan.

Akibatnya, BUMN yang mendapatkan tugas untuk membangun infrastruktur berutang. Sejumlah BUMN karya yang berutang antara lain PT Pembangunan Perumahan, PT  Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT  Hutama Karya, PT Kereta Api Indonesia. Utang yang besar dilakukan oleh PT PLN.

Terjadi perubahan sumber pendanaan dari rencana realokasi BBM ke belanja modal, kemudian penugasan kepada BUMN. BUMN semula diberikan modal melalui PMN, namun ternyata BUMN harus  menambah utang.

Tidak semua BUMN yang terlibat dalam penugasan infrastruktur kemudian secara mudah memberikan akses informasi secara ‘mudah’ kepada publik. Demikian pula dengan Kementerian BUMN.

Perusahaan yang telah go public tentu saja melaporkan performa kinerja keuangannya. Misalnya, PT Pembangunan Perumahan. Yang dialami perusahaan itu antara lain adalah profitabilitas perusahaan tertekan. ROA dan ROE turun.

Likuiditas tidak dilaporkan secara gamblang. Kalau dilihat lebih terinci terkesan ada masalah likuiditas dimana utang lancar meningkat tajam dibandingkan aset lancar. Payout Ratio juga turun. Artinya, perusahaan menjadi lebih mengutamakan ekspansi.

Risiko yang menggunakan indikator yield menunjukkan peningkatan. Artinya,  terjadi paradoks. Seharusnya penugasan infrastruktur berdampak positif terhadap kinerja keuangan BUMN, yang terjadi sebaliknya.

Apa yang terjadi pada PT PP juga terjadi pada PT Wijaya Karya, Waskita Karya. Masalah yang sama menekan kinerja keuangan BUMN lain. PT  Adhi Karya tertekan profitabilitasnya yang dapat dilihat pada ROA dan ROE perusahaan tersebuti. Di samping itu, tidak menuliskan rasio likuiditas, seperti dua BUMN sebelumnya.

Jalan tol dibangun dimana-mana. Sekalipun Jasa Marga melaporkan likuiditas current ratio (CR), namun CR-nya menurun. Artinya, perusahaan itu  menaikkan utang lancar. Utang lancar tersebut mulai mengurangi likuiditas perusahaan. Seharusnya Jasa Marga lebih berbahagia, namun profitabilitasnya  ternyata juga menurun. Itulah contoh dampak kebijakan penugasan pemerintah yang menekan kinerja keuangan BUMN.

Mengenai perubahan kebijakan PMN  yang kembali berkurang, mendekati kebijakan pemerintahan sebelumnya. Hal itu terjadi karena kemampuan pembiayaan investasi dalam APBN kepada BUMN  mengalami penurunan.

Pemberian pinjaman dari pemerintah kemudian berubah, yaitu dari positif menjadi negatif. Artinya, justru pemerintah mendapatkan manfaat dari BUMN, bukan sebaliknya, pemerintah memberikan pinjaman kepada BUMN.

Disamping itu, pemerintah mengalokasikan anggaran berupa kenaikan kewajiban penjaminan pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada BUMN. Dalam transaksi pembiayaan utang APBN, terjadilah peningkatan pinjaman luar negeri untuk kegiatan BUMN.

Sementara itu, peranan  pendapatan negara yang bersumber dari bagian laba BUMN menunjukkan rasio yang menurun. BUMN yang dihela oleh pemerintah untuk menyiasati ambang batas defisit anggaran itu kemudian berdampak pada rasio pendapatan bagian laba BUMN terhadap pendapatan negara menjadi turun.

Dalam hal posisi pinjaman luar negeri, utang BUMN non bank lebih besar dibandingkan utang luar negeri bank BUMN. Namun utang luar negeri yang dilakukan swasta ternyata masih lebih besar dibandingkan utang luar negeri BUMN.

Pengaruh tekanan kinerja BUMN termasuk BUMN infrastruktur dan program kerja infrastruktur tersebut  telah membuat terjadinya fenomena trade-off, yaitu realisasi kemampuan pemerintah memberikan subsidi energi dan non energi menurun, sedangkan pembayaran bunga utang naik.

Dari studi kasus BUMN yang sudah disebutkan, ROA PT PP memang naik, namun ROE-nya turun. Jadi peran kepemilikan modal milik sendiri turun.  ROA Wijaya Karya turun, kurang baik. Juga ROA Adhi Karya turun, kurang baik. Juga ROA Jasa Marga turun. Kurang baik. Oleh karena itu jangan hanya melihat aset yang naik saja.

Dalam beberapa kasus perusahaan swasta membangun infrastruktur  terlambat. Dalam hal ini BUMN  lebih unggul, namun BUMN melibatkan anak-anak perusahaan. Disamping itu, pembangunan infrastruktur hampir tidak ada yang sendirian, melainkan konsorsium. Karena itu perlu pelibatan swasta dalam bentuk konsorsium.

Menyangkut holding BUMN, apakah memang dibutuhkan dan tidak menyimpan bom waktu? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Contoh kasus Semen Indonesia. Sebagai perusahaan holding, current rasio Semen Indonesia turun dari 220,9 persen per Desember 2014 menjadi 172,14 persen per September 2018.

Likuiditas, deviden, earning per share Semen Indonesia. EPS  turun dari Rp 938,35 menjadi Rp 351,91 pada periode yang sama. Sekalipun Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio naik, namun profitabilitas turun tajam. Return on Asset turun dari 16,24 persen menjadi 4,08 persen. Return on Equity turun dari 22,29 persen menjadi 6,53 persen. Net Profit Margin turun dari 20,65 persen menjadi 9,64 persen.

Sekalipun pembentukan holding dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perusahaan terhadap pesaing, namun ada ongkos yang dibayar oleh perusahaan holding seperti likuiditas dan profitabilitas yang tertekan, sementara dividend dan EPS juga turun.

Dalam jangka pendek holding yang seharusnya meningkatkan kinerja keuangan, pada kasus Semen Indonesia justru tidak memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Holding masih sebatas menaikkan nilai buku, tetapi diikuti oleh kenaikan Debt to Asset Ratio dan kenaikan Debt to Equity Ratio. Ada masalah dalam solvabilitas. Oleh karena itu target holding perlu selektif dan tidak perlu terburu-buru. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…