Tarif MRT dan Daya Jangkau Kantung Konsumen

Oleh: Djony Edward

Meskpun Mass Rapid Transit (MRT) Thamrin-Lebak Bulus telah diresmikan penggunaannya, namun penentuan tarif MRT belum putus. Hanya saja mulai sudah mulai mengerucut pada level tarif tertentu, apakah daya jangkau konsumen sudah dipertimbangkan di dalamnya?

Paling itu itulah yang terekam dalam beberapa hari terakhir, khususnya sampai dengan diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 24 Maret lalu. Dimana tarif MRT masih menjadi PR yang harus segera diselesaikan sampai dengan 31 Maret 2019.

Kepala Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta Sri Widiyati menyampaikan, tarif LRT dan MRT masih dibahas dengan tim perumusan subsidi perkeretaapian yang dibentuk oleh Pemprov DKI.

Sri menyampaikan PT MRT Jakarta sendiri sudah mengajukan prakiraan tarif dari konsultan sebesar Rp8.500 dan Rp10.000. Perhitungan itu didasarkan pada jarak tempuh dengan rata-rata 10 kilometer per perjalanan.

Dengan tarif Rp8.500, subsidi yang harus digelontorkan Pemprov DKI per tahunnya sebesar Rp365 miliar. Sementara jika tarifnya Rp10.000, subsidinya bisa sampai sebesar Rp338 miliar.

Sementara penghitungan tarif LRT yang dilakukan dengan pendekatan bisnis operator perkeretaapian memiliki besaran tarif yang dihasilkan Rp15.639 per penumpang.

Namun, jika ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 17 Tahun 2018, tarif yang dihasilkan sebesar Rp28.000 per penumpang. Sedangkan tarif normal atau tarif keekonomian MRT tersebut ada pada Rp31.659 per perjalanan.

Pembahasan tarif tersebut melibatkan Inspektur, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Kepala Badan Pengelola Aset Daerah, Kepala Biro Penataan Kota dan Lingkungan Hidup, dan unsur Badan Perencanaan Pembangunanan Daerah dan lain-lain.

Sementara Komisi B DPRD DKI Jakarta berpendapat selama tahun pertama MRT sebaiknya digratiskan untuk memberikan waktu kepada warga DKI menikmati MRT. Baru setelah familiar, sekitar 65.000 penumpang potensial MRT Thamrin-Lebak Bulus, tahun depan dikenakan tarif yang sesungguhnya.

Alasan lain yang juga cukup masuk akal, dengan adanya MRT kerugian bahan bakar akibat kemacetan Jakarta dalam setahun rerata mencapai Rp100 triliun. Itu sebabnya setelah MRT beroperasi, paling tidak di jalur Thamrin-Lebak Lurus akan lancar kembali.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai besaran tarif MRT harus memperhatikan aspek kemampuan membayar konsumen. Bahkan, harus ada gambaran konkret, alokasi anggaran, atau belanja transportasi calon konsumen MRT, dari total pengeluaran dan pendapatannya.

“Hal ini harus di-back up dengan hasil survei yang komprehensif dan meyakinkan. Tanpa memerhitungkan aspek kemampuan membayar konsumen, maka MRT Jakarta akan ditinggal konsumennya, alias tidak laku,” ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi belum lama ini.

Menurutnya, kemampuan membayar ini harus dielaborasi, siapakah mayoritas pengguna MRT? Pemprov juga harus punya data, untuk tujuan apa konsumen memilih menggunakan MRT? Jika tujuannya karena faktor kenyamanan dan efisiensi waktu tempuh maka tarif Rp10 ribu dinilai masih layak.

Di sisi yang lain, managemen MRT Jakarta harus mengeksplorasi pendapatannya bukan hanya mengandalkan pendapatan tiket saja. Hal itu karena tidak mungkin pendapatan dari tiket mampu menutup keseluruhan biaya operasional dan apalagi investasi.

“Manajemen PT MRT Jakarta harus kreatif dan cerdas untuk menggali pendapatan dari aspek komersial lainnya seperti sewa lahan, bisnis di area TOD, dan promosi atau iklan. Asal jangan iklan produk tembakau alias iklan rokok,” ungkapnya.

Untuk itu, diperlukan optimalisasi peran MRT sebagai angkutan massal. YLKI juga mendesak Pemprov DKI, untuk melakukan rekayasa managemen trafik yang kuat dan melakukan rerouting angkutan umum, termasuk melakukan rerouting Transjakarta.

“Lebih mendesak adalah melakukan pembatasan dan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi di sepanjang koridor yang dilewati MRT. Pemprov DKI juga harus secara cepat menopang MRT dengan feedertransport (transportasi pengumpan) yang terintegrasi dengan stasiun MRT,” ungkapnya.

Sebelumnya, Pemprov DKI mengusulkan tarif MRT sebesar Rp 10 ribu dan LRT sebesar Rp 6.000. Namun, DPRD belum menyepakati besaran tarif tersebut. Jika tarif yang diusulkan tersebut disepakati, Pemprov DKI akan menggelontorkan subsidi yang sangat signifikan, bahkan lebih dari 60% tarif MRT dan LRT adalah tarif subsidi.

Permasalahan yang cukup harus mendapat perhatian, adalah tarif yang dianggap wajar antara Rp8.000 hingga Rp10.000 itu ternyata belum kompetitif jika dibandingkan seorang pemotor. Katakanlan warga Ciputat yang bekerja di Pakubuwono, dalam sehari dia mengendarai motor dari rumah ke kantor hanya mengeluarkan bensin Rp20.000 pulang pergi.

Jika menggunakan MRT, pemotor tersebut tetap harus naik motor dan memarkir otornya di terminal Lebak Bulus. Tentu bila dihitung tarif parkir 8 jam dia harus membayar sekitar Rp12.000. Setelah sampai perhentian MRT di lokasi terdekat dengan kantor, paling tida ia harus bayar Gojek Rp5.000. Ditambah MRT pulang pergi Rp20.000. Maka pemotor itu menjadi rugi karena harus menambah pengeluaran Rp22.000 untuk pulang pergi dari rumah ke kantor.

Lain halnya jika lahan parkir di Lebak Bulus digratiskan, itupun ia masih harus menambah biaya Gojek Rp10.000. Sementara dengan tetap naik motor dia hanya mengeluarkan ongkos Rp20.000 dari pintu rumah ke pintu kantor.

Di sini terlihat bahwa tarif Rp8.000 hingga Rp10.000 tidak menarik untuk dirinya. Dipastikan pemotor tersebut tidak akan mengubah pola transportasinya dan ia akan tetap setia dengan motornya. Jadi memang masih perlu dipikirkan penentuan tarif MRT dengan nasib para calon penumpang.

Kalau perhitungan MRT hanya didasarkan pada nilai investasi, biaya listrik dan tenaga kerja, tentu kantung calon penumpang jadi diabaikan. Inilah dilema penentuan tarif moda transportasi MRT, kehadirannya ternyata tidak serta merta memotong biaya transportasi warga, bahkan malah membuat ongkos transportasi warga membengkak.

Mungkin sebagai jalan tengah, ongkos MRT masih harus diturunkan sedikitnya Rp5.000 agar aspek keterjangkauan bisa sampai. Tapi memang risiko pengembalian nilai investasi bisa lebih lama, yang itu juga akan berdampak pada menarik tidaknya investasi MRT.

Semoga hasil akhir tarif MRT benar-benar bisa bersahabat dengan kantung penumpang, pengembalian investasi dan besaran subsidi yang akan ditanggung Pemprov DKI Jakarta. (www.nusantara.news)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…