Pajak Bidik Orang Kaya

Setiap warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi nasabah bank di luar negeri  sekarang tidak bebas lagi seperti beberapa tahun lalu. Pasalnya, Ditjen Pajak mulai menerima data keuangan WNI di puluhan negara mulai September 2018, ini berkat wujud konkret partisipasi Indonesia dalam kerja sama global pertukaran data keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information -AEoI). Meski demikian, Ditjen Pajak tetap berhati-hati dalam menelisik kepatuhan WNI yang menyimpan hartanya di luar negeri tersebut.  

Saat ini, sebanyak 148 dari 190 negara tergabung dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information yang merupakan forum turunan dari The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menginisiasi berdirinya AEoI. Ditjen Pajak sekarang sudah bisa menerima data keuangan WNI dari 65 negara yang sudah berkomitmen, meski masih ada beberapa yang belum mengirimkan data yang dimaksud.

Bagaimanapun, negara-negara yang diketahui dominan menjadi tempat penyimpanan aset WNI seperti tercermin dari deklarasi harta program amnesti pajak telah mengirimkan data ke Indonesia. Negara dimaksud adalah Singapura, Hong Kong, Tiongkok dan Australia. Begitu juga dengan negara save heaven seperti Bahama, Panama, dan Kepulauan Virginia. Sementara itu, data dari Swiss sejatinya sudah otomatis diterima Ditjen Pajak mulai September 2019.

Jelas, hasil temuan aset keuangan tersembunyi di luar negeri nanti diperkirakan akan bertambah tahun ini, dibandingkan nilai temuan 2018 yang mencapai Rp 1.300 triliun.

Hasil temuan tahun lalu sebenarnya tidak jauh beda dengan analisis yang dilakukan pemerintah saat menyusun Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Analisis itu dilakukan berpedoman pada survey McKenzie, yang  membandingkan aset keuangan warga negara Indonesia dengan aset yang diterima dalam program pengampunan pajak (tax amnesty) dan Surat Pemberitahuan Tahunan(SPT).

Dalam studinya,  McKenzie mengungkapkan kekayaan para pemilik modal kaya (high net worth individual) dari Indonesia di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun. Namun, jumlah harta yang dilaporkan hanya Rp 1.183 triliun dan yang direpatriasi (dikembalikan lagi ke Indonesia) Rp 147 triliun. Merujuk pada data 2017, bank penerima mencatat realisasinya di bawah nilai itu yaitu Rp 138 triliun. Kita melihat data angka yang diterima dari AEoI memang sangat signifikan.

Ditjen Pajak menerima data aset keuangan tersembunyi pada 2018 melalui pertukaran informasi dengan pengiriman data ke-54 negara dan penerimaan data dari 66 negara yurisdiksi. Pertukaran data Indonesia dengan negara lain dalam AEoI diatur oleh UU Nomor 9 tahun 2017 tentang pertukaran data nasabah. Berdasarkan aturan tersebut ada lima elemen data yang dipertukarkan, yaitu identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).

Kita tentu mengapresiasi Ditjen Pajak yang serius akan membongkar data keuangan orang kaya Indonesia di Swiss pada September 2019. Pertukaran data dimungkinkan setelah pemerintah Indonesia dan Swiss menandatangani joint declaration terkait kerja sama AEoI untuk keperluan perpajakan. Penandatanganan itu sudah dilakukan pada 2017. “Pertukaran data keuangan secara otomatis pada September 2019. Untuk data saldo keuangan sudah terlaksana sejak akhir 2018,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama.

Selain itu, Ditjen Pajak juga akan bertukar data dengan Bahama dan San Marino melalui perjanjian Tax Information Exchange Agreement (TIEA). TIEA merupakan perjanjian bilateral antara dua negara untuk melakukan pertukaran informasi di bidang perpajakan. "Sebentar lagi akan terbit dua TIEA karena sudah ratifikasi. Perpresnya juga akan keluar," kata  Kepala Subdirektorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Leli Listianawati di Jakarta, pekan lalu.

Saat ini Indonesia sudah memiliki perjanjian TIEA dengan Jersey, Guernsey, Isle of Man, dan Bermuda. Tujuan perjanjian ini ialah untuk mengindari praktik penghindaran pajak. Indonesia juga sudah membuat persetujuan penghindaran pajak berganda dengan 69 negara. Namun, pengaturan pertukaran data (AEoI) hanya dengan 67 negara lantaran Swiss dan Arab Saudi belum menyepakati pertukaran data.

Khusus dengan Swiss dan Arab Saudi, pemerintah Indonesia  telah melakukan kerja sama melalui Multilateral Convention jadi tetap bisa menukarkan data.  Indonesia juga sudah memiliki kerja sama Mutual Administrative Assisteance in Tax Matters (MAC) dengan 127 negara yurisdiksi, yang merupakan perjanjian multilateral antar negara di bidang pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan, dan bantuan layanan dokumen. Untuk itu, orang kaya tidak perlu menyembunyikan hartanya lagi di luar negeri, karena cepat atau lambat akan terdeteksi oleh Ditjen Pajak.

 

 

BERITA TERKAIT

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…