PEMERINTAH DAN PENGUSAHA KECEWA KEBIJAKAN UE - CPO Dinilai Bukan Produk Bahan Bakar

Jakarta-Pemerintah dan pengusaha sawit merasa prihatin dan akan mengambil langkah tegas terhadap putusan Komisi Uni Eropa terkait kebijakan minyak sawit (Crude Palm Oil-CPO), yang mengesahkan aksi delegasi (Delegated Act) dimana CPO sebagai produk tidak berkelanjutan sehingga penggunaan CPO untuk bahan bakar kendaraan harus dihapus.

NERACA

Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan Indonesia akan mengambil langkah tegas atas putusan Komisi Uni Eropa terkait minyak sawit (CPO). Dia mengakui sikap UE tersebut menjadi peringatan, khususnya bagi Indonesia untuk menentukan sikap yang lebih frontal. "Jadi kalau soal CPO kami akan mulai mengambil langkah-langkah yang lebih frontal. Artinya kami akan mengambil langkah-langkah yang lebih keras sudah," tegas Darmin di kantornya, Jumat (15/3).

Pasalnya, Komisi UE telah mengesahkan aksi delegasi (Delegated Act) yang salah satu isinya mengkategorisasikan CPO sebagai produk tidak berkelanjutan. Akibatnya, penggunaan CPO untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus. Selanjutnya, Komisi UE akan mengajukan Delegated Act itu kepada Parlemen UE. Parlemen UE memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan menerima atau menolak keputusan tersebut.

Darmin menuturkan pemerintah akan memanfaatkan jeda waktu itu untuk menyuarakan keberatannya. Dalam hal ini, Indonesia tidak sendiri. Rencananya, perwakilan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen kelapa sawit akan menyambangi pemerintah UE pada April mendatang.

"Ini sudah warning (peringatan) yang serius untuk kami pertimbangkan. Kami dengan Malaysia sudah sepakat akan ke Eropa nanti awal minggu kedua April sebelum dia mengambil keputusan di parlemen," ujarnya.  

Kendati demikian, Darmin menuturkan Indonesia belum mampu membawa persoalan tersebut kepada mahkamah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Alasannya, keputusan Komisi UE tersebut baru berada pada tataran rencana, belum menjadi langkah nyata. "Kami selama ini tahu mereka diskriminatif, tetapi kami belum bisa membawanya ke WTO karena belum ada langkah konkret,” ujarnya.  

Tidak hanya pemerintah yang kecewa terhadap UE. Kalangan pengusaha sawit juga mengaku prihatin atas putusan Komisi Uni Eropa yang menyebut bahwa kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan. Akibatnya, penggunaan bahan kelapa sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus.

"Tentunya kami prihatin dengan keputusan Uni Eropa yang akan menghentikan penggunaan sawit untuk bio energi," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (15/3).

Dia menilai Uni Eropa abai terhadap peran industri kelapa sawit bagi Indonesia, bahwa industri ini berperan dalam pengentasan kemiskinan dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.

Menurut data Gapki, volume ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya sepanjang tahun 2018 mencapai 32,02 juta ton. Jumlah ini naik tipis 3,1% dari ekspor 2017 sebesar 31,05 juta ton. Pasar ekspor terbesar CPO Indonesia adalah India sebesar 6,7 juta ton. Sedangkan Uni Eropa menempati posisi kedua sebesar 4,7 juta ton.

Dengan demikian, penghapusan bahan kelapa sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor akan memberikan dampak signifikan bagi pasar sawit Indonesia.

Senada dengan Gapki, Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengaku heran atas putusan Uni Eropa. Meskipun, ia sendiri belum mengetahui putusan tersebut.  "Saya tidak mengerti kenapa sampai muncul rencana untuk hapus biodisel sebagai bahan baku biofuel. Karena kita tahu bahwa biofuel sangat bagus, apalagi dari sawit," ujarnya.  

Menurut dia, seharusnya Uni Eropa lebih bijak dalam memutuskan penghapusan bahan kelapa sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Sebab, puluhan juta masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya dari industri ini.

Kerusakan Hutan

Dia juga sepakat dengan Mukti bahwa industri kelapa sawit di Indonesia berperan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. "Mereka hanya sekadar melindungi komoditasnya karena mungkin mempuyai minyak nabati lain. Tetapi seharusnya juga melihat secara proporsional dari dampaknya. Berapa banyak petani yang yang bergantung dari CPO," ujarnya.  

Sebelumnya, Komisi Uni Eropa telah menerbitkan kriteria untuk menentukan komoditas yang mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari undang-undang baru Uni Eropa untuk meningkatkan energi terbarukan menjadi 32% pada 2030 mendatang.

Komisi Uni Eropa berkesimpulan bahwa 45% dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 telah mengakibatkan kerusakan hutan, lahan basah atau gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. oleh sebab itu, mereka menilai bahwa penggunaan bahan kelapa sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus.

Sebelumnya, Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries-CPOPC) sepakat mengirim misi bersama ke Uni Eropa (UE) untuk menentang pemberlakuan kebijakan Renewable Energy Directives II (RED II) yang rampung dirancang tahun lalu.

Keputusan tersebut diambil setelah menggelar pertemuan pejabat tinggi CPOPC selama dua hari di Jakarta (27-28 Feb. 2019). Saat ini CPOPC beranggotakan tiga negara produsen minyak sawit yaitu Indonesia, Malaysia, dan Kolombia.

"Para menteri sepakat untuk terus menentang rancangan peraturan (RED II) tersebut melalui konsultasi bilateral antara lain melalui ASEAN, WTO, dan forum lainnya yang tepat," ujar Menko Darmin usai menghadiri pertemuan tingkat menteri CPOPC di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan draft RED II, kebijakan Uni Eropa mendiskriminasi produk minyak kelapa sawit dari produk minyak nabati lain seperti kedelai dan biji bunga matahari. Pasalnya, UE membatasi dan melarang penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit menggunakan skema penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change-ILUC). Padahal, secara ilmiah, metodologi ILUC masih dipertanyakan dan merupakan konsep unilateral yang menyerang minyak kelapa sawit.

"Para menteri (CPOPC) menilai langkah tersebut sebagai kompromi politik di internal UE yang bertujuan untuk mengisolir dan mengecualikan minyak kelapa sawit pada biofuel UE untuk menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh negara-negara UE," ujar Darmin.

Rancangan kriteria pada RED II itu secara langsung difokuskan kepada minyak kelapa sawit dan deforestasi. Uni Eropa juga tidak berupaya untuk memasukkan masalah terkait lingkungan dengan pengolahan lahan untuk sumber minyak nabati lainnya.

Menurut Darmin, negara produsen kelapa sawit tetap terbuka untuk berdialog terkait lingkungan dengan UE dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-bangsa 2030 (UNSDG 2030).

CPOPC juga akan berkoordinasi dengan Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Organisasi Makanan dan Pertanian Dunia (FAO) guna meningkatkan kontribusi minyak kelala sawit terhadap pencapaian UN SDG 2030 yang melibatkan petani.

Indonesia dan negara produsen sawit lain akan menunggu langkah UE berikutnya sebelumnya menentukan langkah selanjutnya. Apabila UE tetap meloloskan RED II sebagai ketentuan mengikat dan mengimplementasikannya, negara anggota CPOPC dapat mengajukan gugatan ke WTO yang memiliki aturan main yang jelas. "Kalau belum dijalankan apa yang bisa digugat?" ujarnya.

Lebih lanjut, CPOPC menyepakati untuk menggelar pertemuan tingkat menteri kedua di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 18 November 2019 mendatang. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…