Likuiditas Bank Ketat?

Istilah likuiditas sering diumpamakan sebagai aliran darah di dalam tubuh yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian. Jika darah itu lancar maka sehatlah tubuh kita, sebaliknya jika darah mengental, maka terjadi sumbatan dan muncullah penyakit. Nah, untuk menjaga likuiditas, sebenarnya Bank Indonesia (BI) telah menggelontorkan transaksi repo atau penjualan efek kepada perbankan Indonesia untuk mendapatkan bantuan likuiditas. Hanya saja pinjaman ini tidak gratis karena ada Surat Berharga Negara (SBN) yang menjadi menjadi dasar transaksi (underlying transaction).

Sebaliknya, perbankan juga dapat menempatakan kelebihan likuiditasnya dengan cara membeli SBN tersebut sebagai cadangan kedua (secondary reserve) atau Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder. Sehingga bila kelebihan likiditas tersebut telah terpakai, likuiditas perbankan sudah masuk level yang membahayakan. “Nah, Kalau ini dipakai sampai kemakan secondary reserve dan jika hal ini berlangsung dalam jangka yang lama bisa membahayakan,” menurut Jahja Setiaatmadja, Presdir BCA.

Untuk menambah likuidtas, industri perbankan memang tetap harus mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) lewat berbagai program. Karena bila kekeringan likuiditas ini tidak segera diantisipasi oleh industri perbankan, kondisi ini bisa saja terjadi seperti krisis 1997.

Kita tentu ingat pada 997 di mana likuiditas terlalu digampangkan dan banyak instrumen tidak permanen sehingga banyak bank-bank yang bergantung funding terhadap seperti itu. Ini salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Karena likuiditas perbankan saat ini sudah ketat. Mengapa?  

Menurut OJK, saat ini tingkat rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio–LDR) dan rasio pembiayaan terhadap pendanaan (loan funding ratio–LFR) sudah mencapai 93% hingga 94%. Bahkan beberapa waktu lalu Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menilai level LDR 93% hingga 94% merupakan level yang perlu diwaspadai karena di atas batas aman yang ditetapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 92%.

Pengetatan likuiditas disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK. Yang dikhawatirkan dengan masalah likuiditas ini akan menurunkan dana cadangan bank karena tersedot ke kredit. Ini yang biasanya menjadi perhatian serius OJK dan LPS.

Pengetatan likuiditas ini membuat perbankan harus memperhitungkan pembiayaan kredit melalui instrumen yang lain, bukan hanya dari DPK. Sekarang ada indikator loan to financing ratio (LFR). Pembiayaan kredit bisa dengan penerbitan obligasi dan instrumen lainnya, tapi dengan bond yield yang tinggi, perbankan juga akan berpikir ulang.

Meski demikian, Bank Indonesia masih menilai kondisi perbankan secara keseluruhan masih baik. Artinya, sepanjang industri perbankan mengikuti arahan BI agar tidak terlampau agresif dalam memberikan kredit, maka likuiditas ketat itu akan mengendur kembali.

Seperti diketahui, pada Desember 2018 BI menambah likuiditas perbankan dengan menyuntik likuiditas mencapai Rp120 triliun. Lalu pada Januari 2019 menambah suntikan lagi ke pasar Rp75 triliun.  “Jadi kami ingin pastikan bahwa likuiditas lebih dari cukup,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo beberapa waktu lalu.

Dengan menjamin ketersediaan likuiditas, BI juga berharap industri perbankan tidak perlu menaikkan suku bunganya hanya untuk menjaring likuiditas. “Perbankan tidak perlu menaikkan suku bunga. Itu konteks likuiditas kita jaga cukup, kalau kurang bilang saya. Kita pastikan likuiditas lebih dari cukup,” ujar Perry.

Berbeda halnya jika bank mengajukan permohonan dalam bentuk Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), itu merupakan bentuk dari kekurangan bank untuk memenuhi GWM-nya. Sedangkan bank yang kesulitan likuiditas adalah kalau bank tidak bisa memenuhi kewajiban GWM. Karena GWM adalah persyaratan alat likuid yang harus ditempatkan di BI.

Selain itu, beberapa bank swasta diketahui membatasi penyaluran KUK-nya, tapi cenderung meningkatkan penyaluran kreditnya ke sektor KTA dan kredit konsumer lainnya. Bahkan, beberapa bank besar siap mengakuisisi bank kecil, sebagai upaya menyelamatkan kondisi lembaga keuangan di dalam negeri.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…