Kisruh E-KTP

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Persoalan E-Ktp ternyata tidak pernah selesai, pasca terungkapnya kasus skandal korupsi E-Ktp yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto yang kemudian dipenjara 15 tahun ternyata kasusnya masih terus bergulir. Paling tidak kini problemnya adalah WNA yang memiliki E-Ktp. Persoalannya bukan hanya kepemilikannya tapi juga imbas dibalik kepemilikan itu yang terkait dengan kepentingan politis. Padahal, WNA memang berhak mendapatkan E-Ktp jika tinggal di wilayah Indonesia dalam kurun waktu tertentu, tapi di sisi lain sesuai peraturan KPU dan UU Pemilu bahwa WNA tidak berhak memilih sebab yang berhak mengikuti pemilu yaitu WNI. Kasus ini semakin sensitif ketika ada dugaan maraknya pekerja asing, terutama dari China dalam 5 tahun terakhir.

Carut marut dibalik penggunaan E-Ktp memberikan warning tentang kemungkinan kasus lainnya yang akan muncul. Betapa tidak, sedari awal pengadaan E-Ktp memicu banyak persoalan. Bahkan, sejumlah petinggi di lingkungan eksekutif, legislatif dan swasta juga banyak yang terlibat dan akhirnya menjadi terdakwa. Proses panjang kisruh E-Ktp telah memicu kekacauan politik di dalam negeri. Bahkan, kerugian negara dari pengadaannya sekitar Rp.2,3 triliun. Tentu ini sebuah angka yang sangat pantastis dari pengadaannya yang kemudian memicu serentetan kasus. Istilah bancakan juga kemudian muncul sebab dengan dana yang cukup besar tidak mungkin akan dikorupsi sendiri dan pastinya ada pihak lain yang juga menikmati lezatnya dana menguap dibalik pengadaan E-Ktp.

Persoalan E-Ktp terasa sangat sensitif ketika muncul di tahun politik karena ada dugaan untuk kepentingan pencoblosan. Padahal, sebelumnya juga sempat muncul kecurigaan dari kotak suara yang terbuat dari kardus dengan asumsi mudah rusak dan rawan untuk kepentingan politik. Tidak hanya berhenti di situ, belum lama berselang muncul kasus E-Ktp yang tercecer dengan jumlah ribuan. Sontak kasus ini memicu sentimen dugaan ada kepentingan politis, setidaknya untuk menuduh petahana yang dianggap tidak bisa menjaga kerahasiaan negara meski melibatkan aparat dibawahnya. Sentimen akhirnya juga muncul karena E-Ktp yang tercecer tersebut seharusnya dimusnahkan karena ada kerusakan dan seharusnya pemusnahan dokumen negara melibatkan aparat negara juga, bukan justru ceroboh tercecer. Wajar jika kemudian kasus ini dipertanyakan ada apa sebenarnya dengan E-Ktp tersebut? Mengapa tercecer di kota tertentu? Apa motifnya?

Isu publik terkait E-ktp yang tercecer sempat mengemuka dan tentu pemerintah yang dalam hal ini Kemendagri, KPU dan Bawaslu turut terlibat menjernihkan persoalan agar tidak semakin ribet, apalagi suhu politik menjelang pilpres semakin memanas. Jeda reda kasus tercecernya E-Ktp berlanjut ke dugaan kepemilikan E-Ktp oleh WNA yang masuk ke DPT. Meski jumlahnya tidak banyak namun kasus ini mencuat juga karena ancaman politis dibalik masuknya WNA dalam DPT.

Padahal, kisruh DPT selalu muncul setiap menjelang pesta demokrasi. Artinya, siklus 5 tahunan kisruh DPT tidak pernah tuntas dan tentu ini sangat ironis ketika setiap penduduk sudah terdaftar dalam KTP sebagai syarat mendapatkan surat suara untuk pemilu. Yang justru menjadi pertanyaan sampai kapan kisruh ini akan terus terjadi? Tidak adakah proses pendewasaan berdemokrasi? Mengapa KTP dan DPT menjadi kambing hitam dalam kehidupan demokrasi?

Berlarutnya kasus E-Ktp dengan berbagai modusnya menjadi pelajaran penting terkait kehidupan demokrasi di republik ini. Persepsian pesta demokrasi ternyata tidak mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Padahal, yang namanya pesta harus dapat diterjemahkan dalam persepsian penuh kegembiraan dalam menyambutnya. Ironisnya, yang terjadi dengan pesta demokrasi di republik ini justru sebaliknya karena yang terjadi justru diwarni berbagai ujaran kebencian, kampanye hitam, kampanye negatif, sebaran hoax dan kerawanan dalam balutan SARA, termasuk juga politisasi kasus yang terkait dengan penyalahgunaan penggunaan E-Ktp. Jadi, pendewasaan kehidupan berdemokrasi di republik ini harus dikedepankan dan dimulai dengan bersikap logis dengan E-Ktp.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…