Bansos dan Pilpres

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Dana bansos di tahun 2019 dipastikan meningkat dan dugaan politisasi dibalik kebijakan populis mengemuka. Selain itu, alokasinya juga dipercepat waktunnya yaitu Januari, April, Juli, dan Oktober. Alokasi dana bansos dalam Program Keluarga Harapan atau PKH di tahun 2019 mencapai Rp.34,4 triliun sedangkan untuk Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) mencapai 15,6 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos. Artinya, dana sosial untuk Program Keluarga Harapan (PKM) meningkat 77 persen dari hanya Rp.19,4 triliun di tahun 2018 menjadi Rp.34,4 triliun di tahun 2019. Peningkatan dana bansos menjadi catatan penting jika dikaitkan dengan rilis BPS tentang penurunan angka kemiskinan karena cenderung terjadi kontradiksi.

Rilis BPS menegaskan bahwa kemiskinan per Maret 2018 hanya 9,82 persen atau turun dibanding Maret dan September 2017 yaitu 10,64 persen dan 10,12 persen sehingga di periode itu jumlah penduduk miskin menjadi 25,95 juta. Kemiskinan, selain isu SARA masih menjadi isu sensitif di tahun politik menuju pilpres 2019 sehingga wajar jika ini menjadi dagangan menarik simpati publik di tahun politik. Beralasan jika pemerintah memaparkan penurunan kemiskinan, sementara di sisi lain oposisi siap membeberkan data terkait masih parahnya kemiskinan. Saling serang terkait kemiskinan kini menjadi tantangan bagi para capres yang akan maju di pilpres 2019 untuk mampu mengurai akar persoalan kemiskinan sehingga di masa pemerintahan berhasil mereduksi kemiskinan.

Persoalan

Persoalan kemiskinan ternyata juga dialami Yogya. Bahkan, angka kemiskinan di Yogya masih yang tertinggi di Jawa yaitu 13,1 persen atau sekitar 488.830 jiwa. Implikasi dari kasus ini sejalan dengan angka gini ratio di Yogya yang mencapai 0,44 per September 2017 dibanding per September 2016 yaitu 0,425. Meski ada penurunan kemiskinan yaitu 15,9 persen di tahun 2012 menjadi 13,1 persen di tahun 2016 tapi fakta kemiskinan yang ada tetap menjadi tantangan pengentasan di tahun 2019. Fakta ini menguatkan argumen kemiskinan di Yogya masih yang tertinggi di Jawa dan nomer 3 nasional. Argumen yang mendasari karena perkembangan ekonomi di Yogya memberikan potensi besar migrasi, terutama untuk investasi di bidang pendidikan dan pariwisata. Bahkan, harus diakui potensi dari keduanya memberikan mata rantai yang sistematis dan berkelanjutan.

Yang menarik dicermati, meski terjadi peningkatan investasi di kedua bidang tersebut tapi harus juga diwaspadai bahwa dalam 10 tahun terakhir telah terjadi pergeseran yaitu semakin banyak warga asli Yogya yang mulai terpinggirkan akibat kalah bersaing untuk hidup dengan para pendatang, utamanya yang bermodal besar. Paling tidak, ini terlihat dari mulai minggirnya warga asli Yogya ke pesisir sementara lahan-lahan mereka telah dijual dan dibeli para pemilik modal untuk dibangun hotel, apartemen dan kos. Dampak dari perkembangan ini yaitu tingginya biaya hidup di Yogya yang secara tidak langsung terbangun dari geliat ekonomi di sentra bisnis, hotel, apartemen dan kos, sementara para warga aslinya semakin terpinggirkan dan tertekan daya belinya. Selain itu, mata rantai dari fenomena tersebut adalah menjamurnya bisnis kuliner di Yogya.

Implikasi dari mata rantai geliat ekonomi bisnis dari perkembangan di kedua bidang itu adalah munculnya kesenjangan. Paling tidak hal ini terbukti dari harga tanah di sejumlah sentra bisnis, hotel, apartemen dan kos dengan harga tanah di pinggiran – pesisir. Imbas lain adalah semakin banyaknya warga asli yang pilih menjual tanahnya di sentra-sentra bisnis tersebut untuk digantikan ke daerah pesisir dan pinggiran. Ironisnya, nilai jual itu tidak sebanding dengan harapan kehidupan di daerah pesisir dan pinggiran sehingga hal ini berdampak positif terhadap angka kemiskinan dan ketimpangan. Jadi, beralasan jika Pemda DIY berkepentingan memetakan sejumlah daerah yang akhirnya terbentuk 15 daerah kecamatan rawan kemiskinan dan ketimpangan.

Potret kemiskinan dan ketimpangan di Yogya tidak bisa terlepas dari fakta yang terjadi secara nasional. Rilis BPS menegaskan angka kemiskinan per Maret 2018 mencapai satu digit yaitu 9,82 persen, penduduk miskin di perdesaan 13,2 persen atau hampir dua kali lipat dibanding di perkotaan 7,02 persen sehingga rasio gini di perdesaan naik menjadi 0,324 persen sedangkan di perkotaan turun menjadi 0,401 persen. Bandingkan dengan jumlah penduduk miskin per September 2017 mencapai 26,52 juta atau berkurang 1,19 juta dibanding maret 2017 sehingga hal ini menegaskan akumulasi kemiskinan mencapai 10,12 persen atau terendah dalam 16 tahun terakhir. Problem mendasar kemiskinan tidak saja kumulatif pengeluaran, tapi juga disparitas kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Faktanya, kemiskinan di perkotaan 7,26 persen sedangkan di perdesaan 13,47 persen. Beralasan jika setiap tahun migrasi naik karena tuntutan perbaikan hidup dan Yogya menjadi salah daerah prioritas tujuan migrasi, terutama dari sekitar daerah penyangga.

Daya Beli

Fakta lain yang menarik dicermati adalah faktor penyumbang kemiskinan yaitu kenaikan sejumlah komoditi pangan (fakta inflasi pangan). Artinya, argumen pelemahan daya beli benar adanya. Ironisnya, fakta ini justru dikebiri dengan argumen terjadinya peralihan konsumen dari model transaksi offline ke online. Diakui ada trend perubahan perilaku konsumen, namun persentasenya tidaklah besar jika dibanding dampak pelemahan daya beli. Artinya, tutupnya sejumlah gerai ritel misal Sevel, Matahari, Ramayana dan Hero di sejumlah daerah memang banyak dipengaruhi pelemahan daya beli, meski di sisi lain juga dipengaruhi pergeseran konsumsi model offline ke online. Oleh karena itu, kajian pelemahan daya beli harus diprioritaskan dibanding pendalaman kasus terkait transaksi online di era now yang memang tidak bisa dicegah.

Mengacu data kemiskinan dan fakta ketimpangan yang akan menjadi dagangan laris di pilpres 2019 maka tidak ada salahnya jika pemerintah juga berkepentingan membangun simpati publik dengan menambah alokasi sosial dan subsidi, termasuk juga pencairan dana desa dengan fokus model padat karya. Meski mengacu hasil sejumlah hasil survei Jokowi masih tertinggi elektabilitasnya namun ancaman ‘kuda hitam’ selalu ada karena politik bisa berubah setiap saat, terutama dikaitkan banyaknya kepala daerah yang telah terjerat OTT KPK. Oleh karena itu jangan sampai isu kemiskinan dan ketimpangan terus menjadi barang dagangan yang lezat dipolitisasi untuk dijual mendulang suara di pilpres. Di satu sisi, fakta kemiskinan dan ketimpangan memberikan gambaran kegagalan otda dan di sisi lain moratorium pemekaran memang harus dilaksanakan.

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…