MA Beri Alasan Minimnya Hakim Agung Perempuan

MA Beri Alasan Minimnya Hakim Agung Perempuan

NERACA

Jakarta - Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Takdir Rahmadi mengatakan minimnya jumlah hakim agung perempuan yang tidak memenuhi kuorum 30 persen, seharusnya tidak bisa dijadikan indikator adanya diskriminasi perempuan di MA."Itu tidak bisa dijadikan indikator, karena keberpihakan terhadap perempuan dalam pemilihan hakim agung bisa menjadi isu politik bahwa pimpinan MA meminta hakim agung perempuan," ujar Takdir di Gedung Mahkamah Agung Jakarta, Jumat (8/3).

Takdir mengatakan jumlah hakim agung perempuan yang tidak mencapai kuorum 30 persen, tidak hanya menjadi ranah MA semata, namun terdapat pihak lain seperti Komisi Yudisial (KY) yang melakukan seleksi dan DPR yang menyetujui.

Untuk persoalan eksternal seperti rekrutmen hakim agung, Takdir menilai bahwa untuk mencapai 30 persen kuorum jumlah hakim agung perempuan, perlu ada dorongan untuk KY dan DPR dalam visi keberpihakan terhadap perempuan."Artinya KY memberikan calon hakim agung perempuan untuk disetujui oleh DPR," kata Takdir.

Namun Takdir memastikan dalam proses mutasi dan promosi hakim tidak pernah terjadi diskriminasi, karena dalam prosesnya pimpinan MA selalu menyertakan hakim agung perempuan untuk dimintai pendapat dan pertimbangan."Untuk persoalan ini (mutasi promosi) kami tidak ada perbedaan gender, karena selalu dipastikan ada satu hakim agung perempuan untuk memberi pertimbangan sehingga proses tetap adil," kata Takdir.

Pada saat ini MA hanya memiliki empat orang hakim agung perempuan yang menjabat sebagai anggota, dari total 48 hakim agung yang ada pada saat ini. Keempat hakim agung tersebut adalah Sri Murwahyuni, Nurul Elmiyah, Desnayeti, dan Maria Anna Samiyati.

"Tapi perlu diingat MA pernah memiliki pimpinan perempuan, yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial yaitu Mariana Sutadi, ini bukti bahwa tidak pernah ada perbedaan atau diskriminasi gender di MA," pungkas Takdir. 

Kemudian Takdir mengatakan MA memberikan respons terkait perkembangan hukum untuk kasus isu perempuan dan anak, dengan menerbitkan Peraturan MA No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

"MA merespons perkara-perkara yang menyangkut isu perempuan dan anak dengan membentuk kelompok kerja (Pokja) yang kemudian menerbitkan produk hukum berupa Perma 3/2017," jelas Takdir.

Takdir mengatakan hal tersebut ketika memberikan paparan pada saat diskusi terkait keadilan bagi perempuan dan anak dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Indonesia dikatakan Takdir sebagai salah satu negara dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Cedaw), yang mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.

"Perma 3/2017 itu dibentuk dengan semangat untuk memberikan akses keadilan dan bebas diskriminasi bagi perempuan dalam sistem peradilan, baik itu perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, saksi, ataupun pihak terkait," jelas Takdir.

Lebih lanjut Takdir mengatakan bahwa isu perempuan menjadi sangat pelik bila terkait dengan adat budaya serta agama, sehingga produk hukum yang sudah diterbitkan terkadang sulit untuk diimplementasikan."Hakim memang diminta untuk menganut nilai-nilai adat dalam mengadili perkara terutama terkait adat budaya, namun nilai adat itu bertentangan dengan norma hukum tentu ini harus menjadi pertimbangan," ujar Takdir.

Sebagai contoh Takdir menyebutkan ada suatu daerah yang memiliki adat budaya bahwa perempuan harus menikah begitu memasuki usia akil balig. Namun aturan tersebut bertentangan dengan norma hukum terutama sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa usia minimum untuk perempuan menikah, harus disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak. 

Pada kesempatan yang sama, praktisi media sekaligus aktivis perempuan Sonya Hellen Sinombor menilai bahwa perspektif gender sangat penting dimiliki oleh para hakim, terutama hakim yang mengadili perkara perempuan dan anak.

Hakim laki-laki pun dikatakan Sonya bisa menangani kasus perkara perempuan asalkan memiliki perspektif gender yang baik, mengingat tidak menjamin hakim perempuan memiliki perspektif gender yang baik.

Dia mengimbau MA untuk dapat melakukan evaluasi bagi hakim-hakim yang mengadili perkara terkait isu perempuan, sehingga bisa memetakan hakim-hakim yang sudah memiliki perspektif gender yang baik."Sehingga bisa dihitung dari seluruh hakim, ada berapa jumlah hakim yang sudah memiliki perspektif gender," tandas Sonya. Ant

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…