Finalisasi Perjanjian Perdagangan Bebas Diminta Tak Ambisius

NERACA

Jakarta –  Koalisi masyarakat sipil untuk keadilan ekonomi mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak mengesahkan perjanjian Indonesia-Australia CEPA tanpa membuka konsultasi dengan publik secara luas. Hal ini dikarenakan selama perundingan selalu dilakukan secara tertutup dan tidak transparan mengenai isi teksnya. Bahkan dalam prosesnya, koalisi ini juga meragukan adanya ruang konsultasi yang bersifat berkelanjutan oleh Pemerintah kepada Parlemen. 

Perundingan Indonesia-Australia CEPA dirampungkan pada Agustus 2018, dan perjanjian ini ditandatangani pada Senin, 4 Maret 2019. Dalam kesepakatannya, Indonesia-Australia secara signifikan menurunkan tarif dan hambatan perdagangan,  meliberalisasi investasi, dan sektor jasa-jasa, termasuk didalamnya adalah e-commerce.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa ambisi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk IA CEPA, hanya sekedar mengejar target kuantitas kinerja tanpa mengukur secara presisi dampaknya secara positif bagi masyarakat.

“Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas khususnya IA CEPA tidak hanya bicara soal ekspor dan impor,” tegas Rachmi, disalin dari siaran resmi.

Sebelum ratifikasi, perlu kiranya DPR RI dan Pemerintah Indonesia melakukan analisis dampak FTA yang sudah selesai dirundingkan. Ini untuk menghitung secara presisi dampak apa yang memang betul-betul akan dirasakan oleh Indonesia ke depan. Justru yang ditakutkan apabila IA CEPA diratifikasi di masa Pemilu ini akan sangat membahayakan nasib rakyat Indonesia di kemudian hari tanpa adanya pertimbangan matang.

“Yang paling penting dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam Konstitusi tidak diabaikan bahkan dilanggar oleh perjanjian perdagangan internasional. Jadi Pemilu bukanlah alasan untuk mengesahkan perjanjian IA CEPA ataupun perjanjian perdagangan internasional lainnya,” tambahnya.

Walaupun harapan pemerintah Indonesia atas perjanjian ini ingin meningkatkan ekspor ke Australia, tetapi  data neraca perdagangan Indonesia – Australia selalu memperlihatkan defisit. Tanpa perjanjian dagang FTA Indonesia Australia, angka impor pangan dari Australia sejak 2012 hingga 2018 menunjukkan kenaikkan yang signifikan. Bahkan, dari Juni-Agustus 2018 mencapai angka US$ 3,8 juta,- khususnya impor daging sapi, gula rafinasi, susu dan keju. Tentu nya, perjanjian ini akan membawa dampak yang serius bagi pangan di Indonesia. Apalagi dengan dengan semakin banyak menandatangani perjanjian dagang yang justru mendatangkan impor pangan yang lebih tinggi.

Nilai impor hasil pertanian dari Australia menunjukkan angka yang signifikan, karena Indonesia merupakan pasar terbesar bagi Australia untuk ekspor hasil-hasil pertanian, di kawasan Asia Tenggara. Tidak heran ketika dilihat data impor hasil pertanian dari Australia menunjukkan angka meningkat pada tiap tahun nya, hingga 2018 tercatat Indonesia mengimpor hingga di angka US$ 5,16 juta, atau kira-kira 33% dari ekspor hasil pertanian Australia di impor Indonesia, khusus nya susu, gandum, ternak hidup, mentega, buah, dan kapas.

Kartini Samon, Peneliti dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menjelaskan bahwa dengan tanpa IA CEPA angka impor pertanian dari Australia mencapai hingga US$ 5,16 juta, dan membanjiri Indonesia. Karena itu, perdagangan  bebas  dengan Australia akan  membawa  dampak  mengganggu  petani  serta peternak domestik, industri gula dan produsen pertanian lain, bila dibiarkan begitu saja.

“Sementara ekspor produk Indonesia ke Australia, kebanyakan sudah mendapatkan 0% tarif, artinya dengan perjanjian ini, mungkin tidak akan meningkatkan pasar yang sebelumnya. Tetapi sebaliknya, Indonesia malah lebih kebanjiran impor pangan dari Australia”, terang Kartini.

Selain itu, Henri Pratama, Bidang Advokasi dan Riset, Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional mengatakan Indonesia selalu memiliki masalah dengan pengelolaan industri garam. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang akan melonggarkan impor garam menambah buruk persoalan tata kelola garam nasional.  kebijakan pemerintah dengan membuka kuota impor garam seharusnya tidak perlu dilakukan.

 

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…