Tantangan Kelola Fintech di Indonesia

 

Oleh: Nailul Huda

Peneliti Desk Ekonomi Digital dan Inovasi, INDEF

 

 

 

Financial Technology (Fintech) merupakan salah satu produk jasa yang dihasilkan dari adanya revolusi industri 4.0. Dengan memanfaatkan teknologi internet, Fintech berhasil mempermudah kegiatan jasa layanan keuangan dengan mudah dan lebih efisien. Efisien di sini berarti cost yang dikeluarkan oleh konsumen lebih rendah dibandingkan dengan jasa layanan keuangan lainnya seperti perbankan. Rendahnya biaya ini disebabkan perusahaan Fintech hanya mengandalkan jaringan internet untuk proses kegiatan layanan jasanya. Tidak ada gedung ataupun karyawan yang banyak untuk proses tersebut.

Layanan jasa Fintech sendiri dibagi menjadi dua jenis. Pertama, jasa layanan Fintech Pinjaman. Layanan ini memberikan jasa layanan konsumen untuk melakukan peminjaman dengan sisten peer to peer (P2P) ataupun crowding funding. Crowd funding merupakan sebuah sistem pendanaan dengan mengusung sistem gotong royong. Sedangkan P2P lending merupakan sistem pendanaan yang mempertemukan investor dan peminjam melalui sebuah aplikasi. Fintech landing ini sudah mulai menanjak sejak tahun 2014. Tahun 2014, diambil data dari CNBC Indonesia (2018), investasi di sektor Fintech landing di tingkat global mencapai USD13,3 miliar. Angka tersebut meningkat tajam dari tahun 2013 dimana investasi FinTech saat itu hanya USD4,8 miliar. Tahun 2017, investasi FinTech global mencapai USD27,4 miliar.

Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar FinTech di dunia. Dengan jumlah penduduk nomor 3 terbesar di dunia dan pengguna internet yang sudah mencapai 54,68 persen dari jumlah penduduk, tidak hayal membuat pasar FinTech Indonesia menjadi ceruk pasar yang masih potensial untuk digarap. Tidak hanya perusahaan FinTech Domestik, perusahaan FinTech Global juga melihat pangsa pasar Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar yang masih potensial. Saat ini, ada 98 perusahaan Fintech landing yang sudah terdaftar dengan potensi sumbangan kepada PDB sebesar Rp25,97 triliun dan penciptaan lapangan tenaga kerja baru juga signifikan dengan adanya penambahan tenaga kerja sebesar 215,433 orang (INDEF, 2018).

Pemerintah, melalui OJK, harusnya bisa melihat potensi ini dengan melakukan pengaturan agar menghindari praktik-praktik negatif yang bisa dilakukan oleh perusahaan Fintech Landing. Praktik-praktik seperti penagihan yang di luar batas kewajaran harus bisa dihindari untuk melindungi konsumen.

Jenis layanan Fintech kedua adalah Fintech Pembayaran. Layanan ini merupakan jasa layanan keuangan digital yang memberikan akses pembayaran kepada konsumen dengan menggunakan sistem QR Code. Layanan ini sangat berkembang sejak kemunculan Go-Pay dan OVO. Data dari Bank Indonesia menunjukkan sudah ada 45 Fintech pembayaran yang sudah 45 buah (termasuk pendukung dan penunjang). Data dari OJK yang saya kutip dari Bisnis Indonesia (2019) menyebutkan bahwa transaksi terbanyak kedua sudah beralih ke transaksi melalui Dompet Digital Fintech (20%) setelah uang tunai (39%). Penggunaan Fintech lebih besar daripada kartu debit ataupun transfer. Survey Morgan Stanley juga mengungkapkan pertumbuhan transaksi melalui Fintech lebih tinggi daripada transaksi lainnya.

Fintech pembayaran selama ini kita kenal paling besar adalah Go-Pay dan OVO. Kedua perusahaan tersebut diakui dimiliki oleh 70% responden dan 71% responden (Morgan Stanley). Memang kedua Fintech tersebut berkolaborasi dengan perusahaan transportasi online (Go-Pay dengan Gojek, dan OVO dengan Grab). Maka dari itu, mereka bisa lebih besar dari yang lainnya.

Dominasi kedua Fintech tersebut nampaknya membuat BUMN kita tertarik untuk terjun ke dalam industri Fintech Pembayaran. Maka dari itu, dengan digawangi oleh Telkomsel, gabungan BUMN yang terdiri dari perusahaan BUMN perbankan, Telkomsel, Pertamina, dan Jiwasraya membentuk usaha bersama bernama LinkAja untuk menyaingi Go-Pay dan OVO. Namun nampaknya hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam penguasaan pasar yang bisa jadi dominan dimiliki oleh LinkAja. Hal ini didasarkan pada masih bergantungnya perusahaan Fintech lainnya kepada perbankan terutama BUMN untuk melakukan top-up atau isi ulang. Dengan masuknya pemerintah di bisnis ini, membuat disinsentif untuk bersaing bagi perusahaan Fintech.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…