Dunia Usaha - Penangguhan Pungutan Ekspor Sawit Insentif Bagi Pelaku Usaha

NERACA

Jakarta – Pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi mengatakan keputusan pemerintah untuk menangguhkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha guna meningkatkan produksi. Untuk mengantisipasi dampak defisit yang makin melebar, maka diberi insentif untuk bisa melakukan ekspor.

“Salah satunya dengan menahan pungutan ekspor ini. Itu kebijakan yang cukup tepat," kata Fithra dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, disalin dari Antara. Fithra menjelaskan selama ini kelapa sawit terutama CPO masih menjadi komoditas unggulan ekspor Indonesia yang perlu didukung melalui pemberian insentif agar produksi dalam negeri tidak terganggu.

Untuk itu, pengajar FE Universitas Indonesia ini menilai upaya penangguhan pungutan dana itu telah mempertimbangkan volatilitas harga komoditas tersebut di pasar internasional dan ekspor yang belum tumbuh optimal. "Bisa mengurangi setidaknya beban bagi pelaku usaha terkait sawit. Ini bisa menjadi insentif bagi mereka untuk berproduksi," kata Fithra.

Meski demikian, kebijakan itu tidak dapat segera memberikan hasil secara langsung kepada peningkatan nilai ekspor, karena terdapat faktor lain yang menghambat yaitu lesunya permintaan dari negara tujuan ekspor.

Untuk mengatasi persoalan ini, menurut Fithra, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna membuka pasar baru yang potensial melalui misi perdagangan. "Dengan adanya hambatan yang makin tinggi dari negara mitra, memang tidak bisa (ekspor) berkembang pesat secara signifikan dalam waktu dekat," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas pada Kamis (28/2) memutuskan untuk menangguhkan pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Hal itu dilakukan karena harga aktual untuk CPO di pasar internasional berada pada kisaran 545 dolar AS per ton atau dibawah batas pungutan 570 dolar AS per ton sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono meminta perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengikuti standar dan kriteria yang ditetapkan pemerintah dalam "Indonesian Sustainable Palm Oil" (ISPO). Sertifikasi lain, menurut Dirjen di Jakarta, Jumat, seharusnya tidak menjadi rujukan utama, apalagi hanya karena tekanan dari non governmental organization (NGO)/LSM ada perusahaan sawit sampai menghentikan pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani.

Hal itu, tambahnya, juga berlaku bagi perusahaan perkebunan yang terafiliasi dengan perusahaan induk mereka di luar negeri. Mereka tidak perlu mengikuti standar NDPE (no deforestation, no peat development, and no exploitation) karena akan membebani rantai pasok dan ujungnya petani sawit yang dirugikan. "Ikuti saja yang ada di ISPO," katanya terkait masih terjadinya pemutusan pembelian CPO dari perusahaan pemasok yang dinilai oleh LSM asing tidak memenuhi kriteria NDPE, padahal perusahaan pemasok tersebut banyak membeli TBS dari perkebunan sawit petani.

Baru-baru ini Minamas Plantations, anak perusahaan Sime Darby Malaysia itu menghentikan pembelian CPO dari salah satu pemasok mereka yaitu Saraswanti Group yang beroperasi di Kalimantan Barat. "Indonesia telah mempunyai aturan yang jelas mengenai praktik-praktik berkelanjutan. Hormati dan ikuti saja ISPO karena hanya aturan itu yang berdaulat di Indonesia," ujar Kasdi.

Menurut dia, dalam ISPO pemerintah Indonesia punya komitmen jelas yakni mendorong petani dan industri untuk memproduksi sawit secara berkelanjutan termasuk ketaatan pada NDPE. "Jadi industri tidak perlu terprovokasi dengan persyaratan yang bukan ditetapkan pemerintah," katanya.

Kasdi mengatakan, sejumlah aturan yang diterapkan dalam ISPO telah memenuhi kriteria global dalam penerapan praktik-praktik berkelanjutan, bahkan ke depan pemerintah ingin menyederhanakan aturan, sesuai dengan masukan para pelaku usaha perkebunan termasuk petani agar bisa diikuti semua pihak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengaku sudah mendengar kabar tentang suspensi pembelian CPO oleh Minamas Plantations kepada anak perusahaan Saraswanti Group.

Terkait hal itu baik pihak Minamas maupun Saraswanti belum bisa dimintai penjelasannya. "Kami menyayangkan terjadinya praktik-praktik tata niaga yang menyebabkan pemutusan pembelian. Apalagi CPO yang diputus itu sebagian hasil olah dari TBS kebun-kebun plasma," katanya.

Menurut dia, perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia pada dasarnya telah patuh dengan semua peraturan terkait tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…