Ekonomi Politik Berjalan Bersama

Kondisi ekonomi tampaknya telah memisahkan diri (decoupling) dari politik sejak pemilu presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Realitanya saat itu tidak terjadi gejolak ekonomi yang luar biasa saat pemilu berlangsung, sekalipun bagi bangsa Indonesia pemilu tersebut merupakan yang pertama kali terjadi sepanjang sejarah di dalam negeri.

Adalah lumrah ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat terkoreksi cukup dalam pada putaran pertama pemilu presiden menjelang akhir Agustus 2004 karena kekhawatiran atas ketidakpastian situasi politik. Calon presiden dan wakil presiden yang maju ketika itu mencapai lima pasangan, menyulitkan prediksi mengenai siapa yang akan menjadi presiden. IHSG jatuh ke kisaran 725.

Menjelang putaran kedua situasi politik sudah dapat diprediksi dengan terbentuknya koalisi dan hasil survei yang mengindikasikan keunggulan salah satu paslon presiden dan wakil presiden, mengurangi ketidakpastian yang membuat IHSG percaya diri untuk merangkak naik.

Setali tiga uang, rupiah terpuruk pada saat bersamaan. Mata uang garuda tersebut bergerak di kisaran Rp 8.500 per US$ dan terus turun ke kisaran Rp9.400 per US$. Gejolak rupiah di tahun politik tersebut cukup panjang karena pemilu berlangsung dua putaran.

Setelah pemilu presiden 2004, pesta demokrasi nyaris tidak menimbulkan gejolak di bidang ekonomi. Bagi pelaku usaha, politik tidak lagi memiliki bobot signifikan dalam penghitungan risiko. Bagi mereka yang penting rupiah stabil, perizinan mudah, kredit lancar, inflasi terkendali, dan daya beli meningkat. Bagi rakyat cukup tersedia bahan pokok, mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang baik, dan tersedia lapangan pekerjaan.

Memasuki 2019, bangsa Indonesia dihadapkan pada sistem pemilihan umum yang relatif baru yakni dengan menggabungkan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dalam satu waktu. Sesuatu yang baru cenderung menimbulkan ketidakpastian. Situasinya tidak hanya ditentukan oleh siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden, tetapi juga oleh seberapa banyak suara yang didapat partai pendukung pemerintah di parlemen. Tetapi masalah ini diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi.

Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, kondisi ekonomi menjadi tidak stabil dan bergejolak, apakah akan berdampak kepada pilpres? Hari-hari belakangan ini kondisi ekonomi menunjukkan wajah yang muram. Neraca transaksi berjalan masih mencatatkan defisit hingga November 2018. Kekhawatiran yang muncul tidak sebatas pada angka defisit, tetapi pada fenomena gunung es di baliknya.

Defisit hanya puncak dari gunung es pelemahan daya saing Indonesia di kancah perdagangan internasional. Melemahnya ekspor mengindikasikan produk Indonesia dikalahkan oleh barang dari negara lain. Tragisnya lagi, kalah oleh negara yang dulu belajar pembangunan ekonomi dari Indonesia seperti Vietnam.

Ekspor adalah sumber devisa paling sehat bagi perekonomian. Jika ia cenderung menurun maka ekonomi perlahan-lahan kehilangan nutrisi yang baik. Ekonomi yang terus bergerak membutuhkan nutrisi. Pada saat tidak tersedia nutrisi yang baik, maka ia akan mencari apa saja yang bisa memenuhi kebutuhannya, sehingga utang dan investasi portfolio yang tidak sehat pun ditelannya.

Situasi ini memunculkan masalah pada putaran kedua (second round), dimana rupiah terancam kestabilannya karena menjadi sangat terpengaruh oleh kebijakan moneter negara lain dan menipisnya cadangan devisa. Fluktuasi nilai tukar rupiah menjadi sangat longgar. Penurunan nilai tukar rupiah ditransfer ke kenaikan harga barang sehingga inflasi menjadi sulit dikendalikan.

Inflasi menggerus daya beli masyarakat. Dengan uang yang sama, masyarakat mengonsumsi lebih sedikit makanan, mengurangi belanja barang, melupakan mimpi bepergian menjelang pergantian tahun. Produsen ikut terpukul dengan menurunnya penjualan sehingga harus mengurangi produksi, bahkan menutup pabrik.

Inflasi juga memaksa otoritas moneter mengeluarkan jurus pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini sangat tidak diinginkan oleh dunia usaha. Mereka jadi dihantam dari dua sisi, penurunan daya beli masyarakat dan kenaikan biaya dana (cost of fund).

Belum ada tanda-tanda perbaikan neraca transaksi berjalan. Ada pilihan strategi jangka pendek dengan mengurangi subsidi BBM secara signifikan, tetapi bukan pilihan yang mudah di tahun politik, sementara sejumlah paket kebijakan ekonomi yang digelontorkan pemerintah tidak banyak membantu, masih diperlukan waktu 1-2 tahun lagi untuk melihat hasilnya.

Semoga tidak terlambat dalam mengatasi defisit transaksi berjalan, atau pemerintah berpikir bahwa politik juga sudah berpisah dari ekonomi. Ketidakstabilan, ketidakpastian, dan pelemahan ekonomi tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pilpres 2019. Selama rakyat masih senang dengan euphoria pesta demokrasi, maka akan aman perjalanan menuju proses pemilihan presiden nanti. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…