Sialnya Proyek Saudi dan Rusia di Indonesia

 

Oleh: Gigin Praginanto, Pemerhati Kebijakan Publik

Kalau berceloteh tentang pentingnya pembangunan kilang mingak,  para petinggi Indonesia termasuk sangat agresif. Semangat mereka tampak sangat tinggi ketika menyatakan bahwa Indonesia harus segera membangun kilang minyak baru. Hebatnya lagi, target produksi dua juta barrel BBM per hari bahkan telah ditetapkan beberapa tahun lalu!

Semua itu tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Kilang Minyak. Sebanyak 6 kilang akan dibangun,  dan tersebar di berbagai wilayah. Bila semua rampung,  Indonesia tak perlu impor BBM sampai lebih 300 ribu barrel per hari seperti sekarang. Indonesia bahkan bisa ekspor!.

Sayangnya semua itu hanya di atas kertas.  Realisasinya masih nol. Euphoria pembangunan kilang minyak, pasca lengsernya presiden SBY,  ternyata tak melahirkan satupun kilang baru sampai detik ini. Maka, defisit perdagangan Migas makin sulit dikendalikan, membuat pemborosan devisa tak terhindarkan.

Pihak investor tentu saja kecewa.  Salah satunya adalah pemerintah Arab Saudi, yang siap mendanai pembangunan kilang minyak dan peterokimia Cilacap. Dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di sela KTT G20 di Argentina pada Desember lalu,  Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mempertanyakan pembangunan kilang minyak di Cilacap yang tak kunjung terealisasi. Dalam pertemuan itu Kalla mengakui bahwa bahkan lahannya saja belum tersedia.

Pangeran bin Salman tentu kecewa karena kesepakatan untuk membangun kilang Cilacap telah ditandatangani awal Maret 2017. Kesepakan bernilai US$ 6 miliar ini dicapai oleh Pertamina dengan perusahaan minyak Saudi Aramco disaksikan oleh presiden Jokowi dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulazis yang ketika itu melakukan lawatan ke Asia Tenggara.

Investor Rusia tentu tak kalah kecewa. Sejak menandatangi akta perusahaan patungan bersama Pertamina pada November 2017, sampai sekarang masih tak menentu karena masalah lahan. Perusahaan patungan ini akan membangun komplek kilang minyak dan petrokimia di Tuban. Rusia diwakili oleh perusahaan berbasis Singapura Petrol Complex PTE. LTD., yang merupakan anak perusahaan Rosneft Oil Company,  Rusia.

Malaysia, Singapura juga,  tentu senang mendengar kabar proyek pembangunan kilang minyak dan petrokimia Indonesia terlunta-lunta.  Bagaimana tidak, mereka berdua sudah mulai tancap gas,  sedangkan Indonesia adalah salah satu pasar paling potensialnya. Mereka tentu paham betul bahwa Indonesia masih mengandalkan kilang-kilang minyak Jadul berteknologi lama yang tidak efisien sehingga harus impor ratusan ribu barrel BBM setiap hari.

Berbeda dengan Indonesia,  Malaysia langsung mengambil langkah konkrit setelah memperoleh tawaran modal dari Raja Abdulazis ketika berkunjung ke Kuala Lumpur tahun 2017. Ketika itu Abdulazis berjanji akan menggelontorkan US$ 8 miliar untuk pembangunan kilang minyak dan petrokimia di Malaysia.

Dana tersebut mulai cair Maret lalu,  dan langsung disalurkan ke proyek Refinery and Petrochemical Integrated Development (RAPID), yang ditargetkan mulai beroperasi secara komersial sebelum akhir tahun ini. RAPID diharapkan bisa mengurangi ketertinggalan Malaysia dari Singapura. 

Secara total nilai investasi RAPID adalah US$27 miliar. Selain duit Saudi,  proyek ini juga dibiayai oleh BNP Paribas SA, HSBC Holdings Plc and Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd.. Pembangunan RAPID dimulai tahun 2011 dan berlokasi di negara bagian Johore.

RAPID diharapkan akan menghasilkan 300 ribu barrel BBM memenuhi standar Euro 5 ler hari,  plus bahan baku sebanyak 3,3 juta metrik ton per tahun untuk pabrik petrokimia yang terkoneksi dengan kilang minyaknya.

Sementara itu Singapura, yang merupakan produsen BBM dan produk petrokimia terbesar di Asia Tenggara, telah siap meningkatkan produksi.  Kini di Singapura terdapat tiga kilang besar. Masing-masing milik ExxonMobil dengan kapasitas 605.000 barrel per hari, Shell dengan 500.000 barrel per hari, dan Singapore Refinery Corporation dengan 290.000 barrel per hari.

Meski kilang minyak dan petrokimia miliknya di Singapura adalah salah satu yang terbesar di dunia, ExxonMobil berencana memperbesar kapasitas produksi kilang minyak dan petrkomianya di sana. Pengembabgan bernilai multi-miliar dollar AS ini untuk meningkatkan daya saing akibat mengetatnya industri  perminyakan.

China pun tak kalah sigap. Di tengah kunjungan  putra mahkota Saudi Mohammad bin Salman ke Beijing pada Februari ini,  importir minyak terbesar di dunia ini telah menyetujui proyek patungan Aramco dengan North Industries Group Corp. (Norinco) dan Panjin Sincen untuk membangun kompleks kilang minyak dan petrokimia Huajin Aramco Petrochemical Co.. Proyek ini akan digelontori  US$10 miliar oleh Saudi, dan ditargetkan beroperasi pada 2024. Kapasitas produksinya adalah 300 ribu barrel BBM per hari dan berbagai produk petrokimia.

Tak tanggung-tanggung pula, pemerintah Pakistan telah menyatakan setuju pada keinginan Saudi membangun kilang minyak terbesar ketiga di dunia di kota pelabuhan Gwadar dengan investasi US$10 miliar. Produksi kilang ini akan dipakai untuk memasok negara-negara Asia Tengah.

India lebih agresif lagi. Sejak disepakati tahun lalu, usaha  patungan antara Aramco (50 persen) dengan sebuah konsorsium perusahaan minyak India kini mulai membangun komplek kilang minyak dan petrokimia terbesar di dunia bernama Ratnagiri Refinery & Petrochemicals Ltd. (RRPCL) di Maharashtra. Konsorsium ini terdiri dari Indian Oil Corporation Ltd., Bharat Petroleum Corporation Ltd., dan Hindustan Petroleum Corporation Ltd..

Adu cepat membangun komplek kilang minyak dan petrokimia seperti di atas dipicu oleh perkiraan International Energy Agency (IEA) bahwa Cina,  India dan negara Asia lainnya akan mengalami kenaikan permintaan energi tertinggi di dunia. Maka,  penghasil minyak utama dunia seperti Saudi,  meningkatkan investasi di bidang kilang minyak dan petrokimia untuk mendekatkan diri kepada konsumennya.

IEA memperkirakan,  pada 2023 permintaan pada minyak mentah akan naik 6,9 juta barrel per hari. Permintaan atas produk minyak seperti BBM naik 4,8 juta barrel per hari.

Bila Indonesia tampak lamban dalam membangun kilang minyak,  tentu ada sesuatu di baliknya selain masalah lahan.  Bisa jadi karena birokrasi yang berbelit,  bahkan manuver dari kelompok-kelompok anti Rusia dan Arab Saudi.

Tak mustahil bila ada Amerika di balik tersendatnya pembangunan kilangndi Tuban.  Ingat, Amerika telah melancarkan perang dagang melawan Rusia sejak 2014 dengan menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi. Alasan utamanya antara lain adalah invasi Rusia ke Ukraina,  pembunuhan mantan agen KGB di Inggris, dan dukungan Rusia kepada Iran.

Amerika juga telah memutuskan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada negara mana saja yang membeli senjata dari Rusia. Ancaman ini membuat Cina berang sehingga mengancam balik bahwa Amerika akan menghadapi sanksi setimpal atas setiap sanksi ekonominya.

Sedangkan Saudi harus berhadapan dengan kelompok anti Arab, yang sekarang sedang sibuk menghadapi Pilpres. Mereka tak ingin pengaruh Saudi meluas di Indonesia karena dipercaya sebagai biang keladi merebaknya Islam garis keras Wahabisme. Saudi juga dicurigai berada di belakang gerakan khilafahisasi Indonesia.

Namun kelambanan ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah  bersahabat dengan investor. Survei yang dilakuka oleh  lembaga riset asal Kanada Fraser Institute menyimpulkan, di mata investor industri perminyakan,  Indonesia hanya lebih baik dari Irak,  Libya,  dan Venezuela. Hal ini dituangkan dalam "Global Petroleum Survey 2018".

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…