Ancaman Utang BUMN

Di tengah kondisi perekonomian nasional yang cukup memprihatinkan saat ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejatinya menjadi penyelamat keuangan negara. Namun dalam kenyataannya, pengelolaan BUMN sekarang biasa-biasa saja kendati terkesan sangat prudent.

Bahkan belakangan meski tak punya likuiditas kurang cukup, sepertinya dipaksakan sehingga menjadikan utang sebagai instrumen pemaksaan proyek-proyek infrastruktur dari BUMN. Ini mungkin disebabkan kondisi plafon utang Pemerintah cukup terbatas, sementara perusahaan swasta dan investor asing yang diharapkan turut membantu pembiayaan infrastruktur, ternyata tidak sesuai harapan.

Menurut data Kementerian BUMN, hingga kuartal III-2018, total aset 143 BUMN naik dari Rp7.210 triliun pada 2017 menjadi Rp7.718 triliun. Nilai aset yang meningkat sejalan dengan kenaikan utang BUMN dari Rp4.830 triliun (2017) menjadi Rp5.271 triliun pada kuartal III-2018. Sementara itu, nilai ekuitas juga naik dari Rp2.387 triliun (2017) menjadi Rp2.414 triliiun jelang akhir tahun ini. Meski demikian, laba bersih pada kuartal III-2018 turun dari Rp176 triliun (2017) menjadi Rp79 triliun.

Namun Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro menegaskan, kondisi pinjaman BUMN cenderung aman dibandingkan dengan rata-rata industri. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan rasio utang terhadap ekuitas (DER) BUMN masih lebih rendah ketimbang rata-rata industri. Untuk sektor transportasi misalnya, BUMN memiliki DER senilai 1,59 kali, sementara rata-rata industri 1,96 kali. Bahkan nilai liabilitas Rp5.271 triliun, konon tidak mencerminkan total utang riil BUMN karena nilai liabilitas masih mengikutsertakan dana pihak ketiga (DPK), cadangan premi, dan dana-dana talangan. Utang riil BUMN hingga kuartal III-2018 katanya, hanya sebesar Rp2.448 triliun.

Artinya, kinerja BUMN cenderung membaik karena Kementerian BUMN terus melakukan pengawasan ketat (prudent) terhadap neraca keuangan 143 perusahaan negara, khususnya terkait upaya menghimpun pendanaan. Namun BUMN sebagai agent of development, bagaimana?

Menurut kalangan DPR, utang BUMN  sudah sangat mengkhawatirkan. Terlebih dalam kondisi rupiah terpuruk saat ini, keuangan BUMN dalam kondisi yang membahayakan. Utang BUMN non lembaga keuangan tercatat 59% dalam bentuk mata uang asing dan 53% dipegang asing. Beban cicilan utang dan bunganya akan sangat membebani perusahaan.

Menurut data Bank Indonesia hingga triwulan-I tahun 2018, posisi utang BUMN non-lembaga keuangan saat ini mencapai US$47,11 miliar dan mengalami lonjakan signifikan sebesar US$7,1 miliar dalam dua tahun terakhir. Dengan menggunakan kurs hari ini, maka utang BUMN non-lembaga keuangan telah mencapai Rp677 triliun.

Jika digabung dengan utang lembaga keuangan publik, termasuk bank-bank BUMN yang banyak membiayai proyek infrastruktur, total nilainya sangat fantastis yaitu sebesar US$325,92 miliar, atau Rp4.682 triliun (posisi Juni 2018). Bahkan lebih besar dari utang pemerintah. Sementara posisi September 2019 total utang BUMN telah menyentuh level Rp5.271 triliun.

Tentu hal ini merupakan konsekuensi akibat gencarnya pembangunan infrastruktur yang merupakan penugasan pemerintah. BUMN terpaksa harus menarik utang sebagai dana untuk ‘bisnis’ infrastruktur. Sayangnya, kondisi cash flow perusahaan relatif kurang sehat karena terjadi mismatch antara kebutuhan pembayaran utang kepada kreditur dengan penyerataan modal dari pemerintah kepada BUMN yang bersangkutan.

Akibatnya, terjadi lonjakan rasio utang terhadap earnings before interest, tax, depreciation and amortization (EBITDA) atau pendapatan  yang menggambarkan kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar utang. Rasio yang semakin tinggi memberi gambaran bahwa utang tumbuh lebih cepat ketimbang pendapatannya.

Jelas, meningkatnya utang akan semakin mengkhawatirkan. Karena bukan hanya memengaruhi keuangan perusahaan, tetapi juga persepsi investor. Lembaga pemeringkat dunia juga sudah mengingatkan kondisi keuangan BUMN yang terlibat pada proyek-proyek penugasan pemerintah agar memperhatikan cash flow-nya. Ingat, contoh kasus utang PT Pertamina (Persero) yang melejit hingga Rp522 triliun, pada akhirnya membuat laba usahanya anjlok dari Rp 38 triliun (2017) menjadi Rp 5 triliun per September 2018. Waspadalah!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…