Suku Bunga Acuan Ditahan

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Bank Indonesia (BI) untuk keempat-kalinya secara berturut-turut mempertahankan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar enam persen, berdasarkan hasil rapat dewan gubernur periode 20-21 Februari 2019. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (21/2), mengatakan kembali dipertahankannya suku bunga acuan pada Februari 2019 ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik instrumen keuangan domestik.

"Dengan melihat perkembangan ekonomi global, ekonomi nasional, dan ekonomi daerah, Rapat Dewan Gubernur memutuskan untuk mempertahankan 'BI-7 Day Reverse Repo Rate' sebesar enam persen," kata Perry. Dengan suku bunga acuan yang tetap, suku bunga simpanan fasilitas deposit bank di BI (depocit facility) tetap 5,25 persen, dan fasilitas penyediaan likuiditas bagi bank (lending facility) tetap 6,75 persen.

Sebagai catatan, pada 2019, BI memiliki "pekerjaan rumah" yang cukup besar untuk menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen dari PDB, dari defisit transaksi berjalan di 2018 yang sebesar 2,98 persen PDB. Penurunan defisit transaksi berjalan memerlukan upaya keras mengingat tengah masih tingginya laju impor, termasuk impor untuk memenuhi permintaan minyak dan gas.

Penahanan suku bunga BI seperti yang diperkirakan oleh Chief Economist BNI Ryan Kiryanto. Sebelumnya ia memperkirakan bahwa BI masih akan menahan suku bunga di level 6%. Ini sesuai dengan stance policy BI dan Kementerian Keuangan yang senada, yaitu "stability over growth". Menurut dia, besaran suku bunga tak lepas dari pertimbangan kondisi makroekonomi domestik yang stabil dan positif.

"Yaitu melihat capaian kinerja 2018 ekonomi tumbuh 5,17%, inflasi rendah 3,13% dan current account deficit stabil 2,98% dari PDB, serta tensi kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) di 2019 yang cenderung dovish (longgar) dibanding 2018 yang hawkish (ketat)," kata Ryan. Chief Economist BNI ini menilai tahun 2019 spirit BI dan pemerintah adalah mendahulukan stabilitas, baru kemudian pertumbuhan. 

Padahal jika melihat arah inflasi yang melandai seiring penurunan harga BBM, termasuk avtur, dan penurunan tarif listrik golongan bawah (900 dan 1.200 VA), sebenarnya BI punya dua pilihan, yaitu antara menahan di level 6% atau menurunkan BI7DRR pada RDG BI besuk sebesar 25 bps menjadi 5,75%. "Tapi pilihan paling rasional dan strategis saat ini adalah BI tetap menahan BI7DRR di level 6% untuk memprioritaskan stabilitas ketimbang pertumbuhan," kata alumnus FE UGM ini. Sebab lain, lanjutnya, tensi ketegangan AS vs Cina terkait trade war belum mereda dan issue Brexit juga masih menghantui perekonomian global. Hal ini berpotensi mengganggu pasar keuangan domestik.

 

BERITA TERKAIT

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…